Penduduk setempat menyebut kepulauan ini Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, dan masih digunakan dalam buku-buku yang ditulis berdasarkan sumber-sumber lama. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah Kepala Burung Irian Jaya, di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar.
Kepulauan Kai terdiri atas sejumlah pulau, di antaranya adalah:
Kei Besar atau Nuhu Yuut atau Nusteen
* Kei Kecil atau Nuhu Roa atau Nusyanat
* Tanimbar Kei atau Tnebar Evav
* Kei Dulah atau Du
* Dulah Laut atau Du Roa
* Kuur
* Taam
* Tayandu atau Tahayad
Selain itu masih terdapat sejumlah pulau kecil tak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438 km² (555 mil²).
Kei Besar bergunung dan berhutan lebat. Kei Kecil datar dan memiliki populasi terbanyak. Pulau ini sebenarnya merupakan sebuah pulau koral yang terangkat ke permukaan laut. Ibukota kepulauan ini adalah Kota Tual, yang mayoritas warganya beragama Islam. Tak jauh dari Tual terletak Langgur yang merupakan pusat bagi warga Kristiani. Kei termasyhur berkat keindahan pantai-pantainya, misalnya pantai Pasir Panjang.
Kepulauan Kai merupakan bagian dari daerah Wallacea, kumpulan pulau-pulau Indonesia yang dipisahkan oleh laut dalam dari lempeng Benua Asia maupun Australia, dan tidak pernah tersambung dengan kedua benua tersebut. Sebab itu, hanya terdapat sedikit jenis mamalia lokal di Kepulauan Kai.
Sejarah Lisan
Penduduk Kepulauan Kei hampir tidak memiliki catatan sejarah tertulis. Sebaliknya mereka memiliki Tom-Tad, yakni hikayat-hikayat lisan yang disertai dengan benda-benda warisan tertentu sebagai penjamin keontentikan hikayat itu. Sebagian besar hikayat ini dibumbui dongeng atau lambang-lambang, akan tetapi dianggap sepenuhnya benar secara harafiah oleh pribumi kepulauan ini pada umumnya.
Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Hala'ai Jangra dan Hala'ai Deu adalah gelar, bukan nama diri. Nama asli mereka tidak lagi diketahui. Sebagian pemuka adat Kei mengatakan bahwa nama asli Hala'ai Deu adalah Esdeu, ada yang mengatakan Kasdeu, ada pula yang berpendapat bahwa nama sebenarnya adalah Sadeu, atau Sadewa, atau pun Dewa.
Selain Bali, orang Kei yakin bahwa negeri-negeri asal leluhur mereka mencakup Sumbau (Pulau Sumbawa), Vutun (Buton), Seran Ngoran (Pulau Seram dan Gorom di Maluku Tengah), serta Dalo Ternat (Jailolo dan Ternate).
Ada tiga bahasa rumpun austronesia yang dipertuturkan di Kepulauan Kai; Bahasa Kei (Veveu Evav) adalah yang paling luas pemakaiannya, yakni di 207 desa di Kei Kecil, Kei Besar, dan pulau-pulau sekitarnya. Penduduk Pulau Kur dan Kamear menggunakan Bahasa Kur (Veveu Kuur) dalam percakapan sehari-hari, Bahasa Kei mereka gunakan sebagai lingua franca. Bahasa Banda (Veveu Wadan) digunakan di desa Banda Eli (Wadan El)dan Banda-Elat (Wadan Elat) di bagian barat dan Timur Laut Pulau Kei Besar. Para Pengguna Bahasa Banda berasal dari Kepulauan Banda, tempat di mana bahasa itu tidak lagi digunakan. Bahasa Kei tidak memiliki sistem tulisan sendiri. Para misionaris Katolik dari Belanda menuliskan kata-kata Bahasa Kai dengan suatu bentuk variasi penggunaan abjad Romawi.
Kepulauan Kei dianugerahi terumbu karang yang produktif dan berlimpah, dikelilingi laut yang dalam. Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan Kei. Menangkap ikan adalah aktivitas sekunder; keluarga-keluarga umumnya menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercocok tanam. Warga desa menangkap ikan dengan menggunakan perangkap ikan, kail, lembing, dan jala, atau dengan mengumpulkan ikan-ikan yang terjebak di terumbu karang dan ceruk-ceruk pantai pada saat air laut surut. Sejak tahun 1980an, banyak nelayan mulai menggunakan jaring nilon dan motor tempel. Beberapa warga desa memperdagangkan sebahagian hasil panen atau tangkapannya kepada para tengkulak atau di pasar-pasar kota Tual dan Elat. Sumber pendapatan tunai lainnya mencakup penjualan kopra dan cangkang kerang lola (Trochus niloticux), usaha dagang eceran, sumbangan dari anggota keluarga di rantau, dan gaji pegawai negeri.
Selain daripada Teripang, terdapat pula LOLA yang merupakan hasil laut di kepulauan Kei. Hrga LOLA perkilonya bisa mencapai 50 ribu rupiah..(by: CHRES BALUBUN, Ohoi-El,Kei Besar)
Alat musik tradisional di Kepulauan Kai adalah:
* Savarngil (Suling): Seruling kecil lokal sepanjang 4 sampai 8 inci, terbuka di kedua ujung, memiliki enam lubang tempat jari, terbuat dari bambu, dan tanpa kunci nada.
* Tiva (Gendang): Terdiri atas selembar membran dari kulit sapi yang direntangkan erat-erat menutupi salah satu ujung dari sebuah wadah yang berlubang.
* Dada (Gong): Alat musik tabuh dengan jari-jari 12 sampai 15 inci, terbuat dari tembaga atau besi dengan tonjolan di bagian tengah.
Tarian
Sosoy Temar-Rubil (Tarian Perang) yang penuh semangat hanya ditarikan oleh kaum pria, sementara tarian yang lembut seperti Sosoy Kibas (Tari Kipas) hanya ditarikan oleh kaum wanita. Gerakan-gerakan yang tidak terlampau lembut maupun beringas hanya terdapat dalam Sosoy Sawat (Tarian Pergaulan) dan Sosoy Yarit (Tarian Umum), dan oleh karenanya dapat ditarikan baik oleh pria maupun wanita. Gerak-gerik yang agung dan lemah-lembut diijinkan dalam tarian pria seperti dalam Sosoy Swar Man-Vuun (Tarian Penghormatan), namun gerak-gerik yang cepat dan lincah tidak terdapat dalam tarian wanita. Tarian asli Kei umumnya diciptakan untuk tujuan penghormatan, sehingga jarang ditarikan oleh anak-anak. Hanya orang dewasa dan remaja akil-balig yang diikutsertakan. Bahkan sosoy Swar Man-Vuun yang dipentaskan di haluan "Bilan" (Perahu Kebesaran) dulunya hanya ditarikan oleh pria yang sudah berkeluarga. Seperti di banyak tempat di Kepulauan Maluku, sejak zaman kolonial, orang Kei mengenal pula dansa ala Eropa, dan kaum mudanya saat ini tidaklah jauh tertinggal dalam seni tari kontemporer. Dansa Waltz, cha cha cha, dan bahkan joget dangdut umum dijumpai dalam pesta-pesta mereka.