Thursday, July 28, 2016

Keadilan Menurut Masyarakat Kei

Keadilan Menurut Masyarakat Kei

I. Latar belakang

Dalam setiap masyarakat, adat dipahami sebagai seperangkat nilai-nilai dan peraturan-peraturan sosial yang timbul dan tumbuh dari pengalaman hidup masyarakat tersebut.[1] Selama hidupnya, masyarakat itu mengalami aneka kejadian yang menggembirakan dan menyedihkan, serta yang memperkokoh dan merusak ketentraman. Pengalaman hidup masyarakat inilah yang menjadi sumber nilai-nilai adat. Oleh karena berpuluh-puluh  juta penghuni bumi Indonesia hidup dan bertempat tinggal di daerah masing-masing yang berbeda sifatnya, maka setiap golongan penduduk menciptakan tata-hidup yang sesuai dengan pengalaman dalam lingkungan alamnya. Atau dengan kata lain, setiap masyarakat mempunyai konsep tentang keadilan yang diterapkan secara internal.

Namun, setelah masyarakat tumbuh dan berkembang dalam hubungan antar warga, dan antara warga dan komunitas (masyarakat kecil), timbullah kekuatan-kekuatan sosial yang menguntungkan dan merugikan kehidupan bersama dalam komunitas itu. Dalam pemahaman seperti ini, Rawls kemudian mengemukakan, bahwa masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi mau bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, tetapi di sisi lain, masing-masing individu ini mempunyai pembawaan (modal dasar) serta hak yang berbeda, dan semua itu tidak bisa dilebur dalam kehidupan sosial.[2] Persoalannya, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan individu (modal dasar) itu di satu pihak, dan keinginan hidup bersama dipihak lainnya, agar terwujud kehidupan bersama yang berkeadilan?.

Jika mengikuti teori keadilan yang dikemukakan Rawls, maka setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan. Pertama, kebebasan yang sama atau setara (principle of equal libertiy), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama, antara lain, a) kebebasan politik, b) kebebasan berfikir, c) kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, d) kebebasan personal, dan e) kebebasan untuk memiliki kekayaan.[3] Dan yang Kedua, prinsip ketidaksamaan (the principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut, 1) dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung, dan 2) melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.[4]

Berdasarkan dua prinsip keadilan menurut Rawls di atas, maka makalah ini akan mencoba menguraikan makna keadilan yang terkandung dalam Hukum Adat Larwul Ngabal[5] yang dianut oleh masyarakat Kei, Maluku Tenggara.

Gugusan kepulauan Kei, yang oleh penduduk setempat menyebutnya Nuhu Evav (Kepulauan Evav) atau Tanat Evav (Negeri Evav), adalah merupakan bagian administratif daerah kekuasaan Provinsi Maluku. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah kepala Burung, Irian Jaya (Papua), di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar. Kepulauan Kei terdiri dari beberapa pulau, diantaranya Kei Besar (Nuhu Yuut atau Nusteen), Kei Kecil (Nuhu Roa atau Nusyanat), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dulah (Du), Dulah Laut (Du Roa), Kuur, Taam, dan Tayandu (Tahayad). Selain itu, masih terdapat sejumlah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kei adalah 1438 km² (555 mil²)[6].

Secara umum, masyarakat Kei terklasifikasi dalam dua persekutuan adat, yakni, Lor Siw / Ur Siw (Siw Ifaak) dan Lor Lim (Lim Itel). Secara etimologis Lor berarti sekumpulan orang yang mendiami wilayah/Ratschap atau kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial, sedangkan Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 dan  5. Angka ini dipahami sebagai lambang institusi masing-masing persekutuan. Artinya kuantitas massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut[7]. Hukum adat Larvul Ngabal merupakan gabungan dari dua hukum adat, yaitu hukum Larvul yang ditetapkan di desa Elaar, Kei Kecil oleh sembilan Rat (raja) yang kemudian dikenal dengan nama Ur Siw, dan hukum adat Ngabal ditetapkan di desa Lerohoilim, Kei Besar oleh lima Rat (raja) yang kemudian bernama persekutuan Lor Lim. Selanjutnya, akibat proses penahklukan dan perluasan wilayah kekuasaan dari kedua persekutuan masyaraat adat ini, kemudian bersepakat untuk berdamai dengan menggabungkan kedua hukum adat tersebut menjadi Larvul Ngabal. Dalam perspektif Rawls, hal inilah yang saya pahami sebagai bagian dari posisi asali masyarakat Kei.

II. Terbentuknya Hukum Adat Larvul Ngabal

Berdasarkan sejarah lisan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Kei, diketahui bahwa sebelum Larvul Ngabal diberlakukan sebagai hukum adat yang berlaku umum untuk seluruh masyarakat Kei, di wilayah Kepulauan ini sudah berlaku satu hukum yang disebut Dolo. Hukum ini lebih menjurus kepada tindakan-tindakan yang tidak berperikemanusiaan, atau dapat dikatakan siapa yang kuat dialah yang menang – hukum rimba. Kehidupan masyarakat yang hampir “tanpa aturan” ini, kemudian diperbaharui dengan hadirnya para pendatang yang tiba dikepulauan Kei, setelah diterima oleh penduduk asli dan menjadi penguasa setempat, kemudian mengadakan pembaharuan-pembaharuan dan berhasil meletakan suatu hukum dasar yang kenal dengan hukum Larwul dan Ngabal.

Dengan demikian, hukum adat Larwul Ngabal, oleh masyarakat Kei dipahami sebagai warisan budaya dari para leluhur dan mengandung nilai-nilai yang mencerminkan ahlak dan martabat serta budaya yang tinggi dari masyarakat Kei. Karena itu, sebelum menguraikan makna dan fungsi dari hukum adat ini, perlu diuraikan sekilas tentang latar belakang sejarah terjadinya kedua hukum, yang kemudian menjadi satu tersebut.

2.1. Sekilas tentang terbentuknya Hukum Larvul

Terbentuknya hukum Larwul, bermula dari tibanya seorang musafir dengan keluarganya yang dalam tuturan sejarah lisan diyakini berasal dari Bali. Musafir tersebut bernama Kasdeu, yang mendarat di teluk Sorbay dibagian Barat pulau Kei Kecil. Kedatangan mereka diterima oleh masyarakat setempat. Kasdeu, kemudian kawin dan mempunyai emat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Tabtut adalah putra sulung yang kemudian menjadi Rat/Raja di Ohoiwur, sedangkan anak perempuan bungsu bernama Ditsakmas. Putri bungsu ini kemudian kawin dengan seorang tokoh ternama dan pembuat perahu piawai yaitu, Arnuhu dari kampung (desa) Danar di ujung selatan bagian timur pulau Kei Kecil.

Dikisahkan bahwa perjalanan pertama Ditsakmas untuk menemui tunangannya Arnuhu di Danar, tidak berhasil, sebab semua barang perbekalannya dirampok dalam perjalanan, akibat masih berlakunya hukum “rimba” Dolo waktu itu. Akhirnya pada perjalanan kedua melalui desa Wain di pesisir timur bagian tengah pulau Kei Kecil, Ditsakmas akhinya menjumpai dan kawin dengan Arnuhu. Keberhasilan perjalanan kedua ini, dikarenakan ada bentuk larangan atau sasi yang digunakan oleh Ditsakmas, yakni ia mengikatkan daun kelapa putih[8] (janur) disetiap perbekalannya. Diantara barang-barang Ditsakmas dalam perjalanan tersebut, ada seekor kerbau yang dinamakan Kerbau Siw. Kerbau ini kemudian disembeli di desa Elaar Ngursoin, antara Wain dan Danar, yang dibagi-bagikan menjadi 9 bagian untuk perwakilan atau kampung (desa) yang hadir saat itu. Dalam pertemuan di Elaar Ngursoin inilah lahir kesepakatan yang kemudian menjadi diktum hukum Larwul (= darah merah), yakni pasal 1-4 hukum Larwul Ngabal yang ada pada masyarakat Kei saat ini.[9]

Kerbau yang disembeli tersebut dibagikan secara merata kepada 9 Rat/Hilaai (Raja) yang mewakili 9 kampung (dalam bahasa Kei kampung = ohoi), diantaranya : 1) Hilaai Danar mendapat bagian kepala, 2) Hilaai Ngursoin mendapat mata, 3) Hilaai Elaar mendapat gigi, 4) Hilaai Hoar Uun/Rahadat/Rahabav mendapat Ekor, 5) Hilaai Mastur mendapat Tanduk, 6) Hilaai Ohoinol mendapat Perut Besar, 7) Hilaai Ributat Yatvar mendapat Perut, 8) Hilaai Ohoider mendapat Empedu, dan 9) Hilaai Wain mendapat Hati[10]. Ungkapan adat yang diucapkan dalam proses pembagian itu ialah Larwul In Turak (larwul membakar), yang bermakna bahwa hukum Larwul akan digunakan untuk menjaga keamanan, ketertiban, menjamin harkat dan martabat manusia dan hak-hak asasinya. Menurut saya, dengan adanya pembagian seperti ini dapat ditemukan bagaimana masyarakat Kei pada waktu itu memaknai nilai keadilannya.

2.2. Sekilas tentang terbentuknya Hukum Ngabal

Asal mula perkembangan hukum Ngabal bermula dari mendaratnya saudara Kasdeu yang bernama Jangra dengan keluarganya di desa Lerohilim di pantai barat tengah pulau Kei Besar. Kehadiran Jangra di pulau Kei Besar segera tersiar disepanjang pesisir barat pulau Kei Besar sampai ke wilayah hukum raja Bomaf di Fer, ujung selatan pulau Kei Besar. Karena sudah mengetahui dari seorang penduduk desa Lerohoilim bahwa Kei Besar memiliki lima orang raja yang memimpin di wilayahnya masing-masing, dan yang paling berpengaruh pada saat itu adalah raja Bomaf dari desa Fer, maka Jangra mengutus putrinya yang bernama Ditsomar dengan temani oleh Wedifin (seorang penduduk desa Lerohoilim), untuk menemui raja Bomaf.

Perjalanan puteri Ditsomar ini membawa beberapa tombak (dari mas dan tembaga). Kehadiran Wedifin dengan puteri Ditsomar di Fer diterima oleh raja Bomaf dengan upacara adat, dan tombak-tombak itu ditaman/ditancapkan di Woma El Kel Bui yaitu pusat desa Fer. Woma adalah pusat desa biasanya dianggap sebagai tempat suci dan keramat[11], hanya upacara-upacara adat penting saja yang dilakukan oleh raja dan para Tua-tua Adat seperti pelanggaran hukum adat, pertikaian dan perang di Woma. Desa Fer dengan Woma-nya adalah satu-satunya desa yang ditanami dengan tombak yang dibawa Jangra dari Bali, dan tombak ini disebut dengan nama Ngabal yang artinya “Tombak dan Bali”[12] dan tombak tersebut kemudian dijadikan lambang hukum adat di wilayah Hilaai/raja Bomaf.

Atas dasar itu, raja Bomaf kemudian mengambil prakarsa dengan mengundang keempat raja lainnya untuk melakukan pertemuan di desa Lerohoilim. Undangan itu disambut baik, karena mungkin sudah muncul kesadaran untuk mengakhiri hukum Dolo. Pertemuan akbar di desa Lerohoilim itu bertujuan membahas kedatangan Jangra dan kesaktian dari tombak yang dibawanya. Selain itu, pertemuan tersebut berhasil menyepakati tiga dasar hukum yang disebut dengan hukum Ngabal, yang nantinya menjadi pasal 5-7 dari hukum adat Larwul Ngabal. Sebagai lambang untuk meterai yang mengesahkan hukum Ngabal ini, disetujui Tombak Ngabal yang kemudian sekaligus lambang bagi persekutuan masyarakat adat Lorlim.

Untuk penyebaran dan pemberlakuan hukum adat Ngabal, maka sekaligus diadakan pembagian tugas dan wewenang kepada masing-masing Hilaai di wilayah Lorlim Kei Besar, yang dilambangkan dengan pembagian bagian-bagian tubuh seekor ikan paus atau naga laut[13], yang kebetulan terdampar di pantai desa Lerohoilim pada saat itu. Pembagian ini mirip dengan proses pembagian Kerbau Siw yang dilakukan di desa Elaar Ngursoin, Kei Kecil. Diantaranta: 1) Hilaai Bomaf dari Fer mendapat kepala, 2) Hilaai Hibes dari Nerong (Lo Ohoitel) mendapat perut, 3) Hilaai Ub Ohoifak dari Uwat-Mar mendapat ekor, 4) Hilaai Loon Lair dari Weduar-Tutrean mendapat sayap, dan 5) Hilaai Meljamfak dari Rahangiar mendapat gigi.[14] Konsensus dalam pembagian seperti ini, menurut saya menunjukan sebuah kesadaran yang tinggi akan sebuah nilai keadilan.

Hukum adat Ngabal mengandung makna yang berupa perumpamaan dan kiasan, nasihat dan petunjuk. Selain itu berfungsi untuk melindungi hak-hak asasi, yang lazim disebut Ngabal In Adung. Kata-kata inilah yang diucapkan pada saat proses pembagian tubuh dari naga laut/ikan paus itu. Ngabal In Adung bermakna “Tombak sebagai pengatur dan pelindung”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Larwul In Turak yang menjaga keamanan, ketertiban, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjaga dan menghormati hak-hak asasi, berfungsi sebagai membatasi kewenangan-kewenangan, dan perpaduannya dengan Ngabal In Adung yang berisi nasihat dan petunjuk, yang kemudian berfungsi sebagai pengatur dan pelindung bagi hak-hak dasar dari setiap individu yang diatur dalam hukum Larwul.

Dengan penjelasan seperti ini, kita dapat menemukan benang merah dari dua prinsip keadilan yang dikemukakan oleh Rawls, yakni: Pertama, Setiap orang memiliki sebesar-besarnya kesederajatan hak dan kebebasan sejauh yang diatur dalam sistem kesederajatan kebebasan dasar untuk semua; dan prinsip Kedua, Ketidak-sederajatan sosial ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga: (a) bermanfaat sebesar-besarnya bagi warga masyarakat yang paling kurang beruntung, konsisten dengan prinsip menabung yang adil, (b) dikaitkan dengan jabatan dan posisi yang terbuka untuk semua berdasarkan syarat semua memiliki kesempatan yang adil. Relevansi pemikiran Rawls dengan kedua hukum adat di atas adalah bahwa prinsip keadilan pertama, menurut saya, adalah sejalan dengan hukum adat Larwul dengan prinsip Lar In Turak, sedangkan prinsip keadilan kedua adalah juga sejalan dengan hukum adat Ngabal dengan prinsipnya Ngabal In Adung.

Untuk memperjelas bagaimana konsep keadilan yang ada dalam kedua hukum adat masyarakat Kei ini, maka di bawah ini akan duraikan bagamana makna, fungsi dan peran dari kedua hukum adat yang digabungkan menjadi satu kesatuan yang telah diterima oleh seluruh masyarakat Kei dan yang masih berlaku sampai sekarang. Hal ini dilakukan untuk lebih mengelaborasi konsep keadilan menurut masyarakat Kei, dan bagaimana kaitannya dengan prinsip keadilan menurut Rawls.

III. Nilai Perekat Masyarakat Kei: Hukum Larwul Ngabal dan Konsep Keadilannya.

Dengan memahami kedudukan dua persekutuan masyarakat adat yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat sisi persamaan dan perbedaannya. Perbedaan diakibatka karena keduanya saling mempertahankan status quo, menjadi ‘raja-raja kecil’ yang tetap mempertahankan identitas komunal. Identitas komunal tidak hanya merupakan sesuatu yang penting, melainkan juga menentukan kepatuhan atau loyalitas masyarakat kepada raja-raja kecilnya, yang seolah kodrati, merupakan sesuatu yang terberi, tanpa perlu campur tangan manusia.[15] Dengan demikian ada semacam paksaan untuk menerima ikatan kekuasaan yang cenderung absolut, dan ditopang kekerasan sekaligus menuntut kepatuhan dari mereka yang terpenjara rasa takut.[16] Sedangkan pada sisi persamaan, kedua persekutuan masyarakat adat ini dipayungi oleh hukum adat Larvul Ngabal, dan dalam interaksi sosialnya, hanya mengenal satu identitas bahasa yakni, bahasa Kei (Veve Evav).

Darah merah melambangkan bahwa Hukum Larvul itu perasaan- atau pikiran sehati yang berani, agung dan gerak masyarakat. Dan tombak Bali itu adalah lambang, bahwa Hukum Ngabal itu berpijak, tajam, kuat, agung dan sakral. Dengan demikian, terdapat peri-bahasa menyatakan:“Larvul inturak, Ngabal inadung”. Artinya Larvul menetapkan secara umum dasar-dasar hukum adat, dan hukum Ngabal lebih mempertegas kekuatan Hukum adat.

Secara keseluruhan hukum adat ini terdiri dari 7 pasal[17], yakni:

Pasal 1. Uud entauk atvunad:  berarti “kepala bersatu, bertumpu di atas pundak” artiya dimana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad[18] atau yang Mahakuasa; para leluhur (moyang-moyang); dan tokoh-tokoh adat, pemerintah dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/persatuan dan harmoni dalam masyarakat dapat dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan sebagai anggota tubuh.

Tugas perlindungan mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan ungkapan peri-bahasa Kei, yang dalam dasar sifat hidup orang Kei dinyatakan : Sob Duad, taflur (flurut) Nit, fo hoar towlai, artinya “kita meminta berkat dengan berdoa kepadaTuhan, dan kita saling hormat-menghormati dengan mengingat pesan-pesan leluhur supaya kita berselamat di dunia dan akhirat.”

Pasal 2. Lelad ain fo mahiling: berarti:”Leher bersifat luhur, suci dan murni” pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei danggap sebagai pusat hidup dan kehidupan yang bernafas, dan yang harus dilindungi atau dijaga.

Pasal 3. Ul nit envil rumud : berarti “kulit membungkus tubuh kita”, ungkapan ini memiliki dua arti, yakni pertama, harkat dan martabat manusia harus dilindngi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan merahasiakan sesuatu tentang orang lain dan diri sendiri.

Pasal 4. Laar nakmut naa ivud : berarti “darah beredar atau terkurung di dalam tubuh” makna dari pasal ini adalah penghargaan terhadap kehidupan, karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang dapat mengakibatkan keluarnya darah dari dalam tubuh.

Pasal 5. Reek fo kelmutun : berarti, “ambang kamar atau kesucian kaum wanita diluhurkan”  ungkapan ini memiliki dua arti, yakni, pertama, bahwa kamar tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua, perempuan juga dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang wanita dengan cara ‘bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya’.

Pasal 6. Moryaian fo mahiling : “tempat tidur orang yang sudah berumah tangga dan juga wanita bujang (gadis) adalah agung mulia” hal ini juga berkaitan dengan pasal 5. Bahwa orang lain tidak boleh menggunakan atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis. Dan,

Pasal 7. Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did: Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai bukti atau ada sejarah (argumentasi) yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut.

Dapat dikatakan bahwa mekanisme lebih lanjut atau aturan pelaksana dari Hukum Adat Larwul Ngabal seperti yang telah diuraikan di atas, dielaborasi lagi ke dalam 3 (tiga) bentuk hukum adat Kei yakni Hukum Nevnev; Hukum Hanilit, dan Hukum Hawear Balwarin. Ketiga hukum adat ini masing-masing terdiri dari 7 pasal. Bila dipilahkan pasal-pasal dari hukum Larvul Ngabal ke dalam ketiga hukum ini, maka pasal 1-4 adalah hukum Nevnev, atau hukum peri-kemanusiaan, penghargaan terhadap kemanusiaan; pasal 5-6 adalah hukum Hanilit, atau hukum susila/perilaku, penghargaan terhadap perempuan; dan pasal 7 adalah hukum Hawear Balwarin atau hukum keadilan sosial[19].

Terdapat beberapa prinsip dan sikap hidup orang,[20] yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama,Sikap rela menolong, istilah yang dipakai untuk menjelaskan sikap hidup orang Kei ini ialah maren atau hamaren. Maren berarti bekerja bersama-sama. Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa undangan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah (termasuk gereja atau masjid), pesta perkawinan atau kematian. Semua orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Jadi ada semacam kerelaan dari setiap orang untuk membantu sesama demi kekerabatan yang telah terjalin. Sikap rela menolong ini pada dasarnya dilakukan demi kelestarian hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, ada perasaan wajib untuk menolong sesama.

Kedua, Sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain, dia sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha dan pekerjaannya. Ketiga, Sikap hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan diseluruh daerah. Atasan menurut pandangan orang Kei adalah orang yang dapat mempersatukan suatu kelompok kekerabatan. Dia memiliki kekuasaan dan merupakan representasi hukum yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih merupakan unsure transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh karena itu, kedudukannya ia dihormati dan ditaati.[21] Dan, keempat, Sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kata terima kasih berarti “tet ya”. Istilah ini memiliki makna yang sangat mendalam, artinya “karena kebaikanmu, engkau  saya tempatkan dalam lubuk hati agar engkau dekat dengan saya”. Jadi hakikat dari ucapan terima kasih orang Kei adalah kebaikan orang lain perlu dibalas dengan sikap yang mengeratkan hubungan sosial.

Dalam interaksi kehidupan sehari-hari, terdapat tiga nilai perekat, yakni (1), falsafah ain ni ani yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; (2), falsafah foing fo kut fauw fo banglu. Nilai foing fo kut ini bermakan menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi kehidupan, sedangkan fauw fo banglu, bermakna kemampuan menciptakan “peluru” untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi serangan[22]; dan (3), filosofi wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur, yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal dari satu keturunan.[23]

Filosofi antara ikan dan ayam dapat memberi makna bawa sekalipun orang kei itu dikelompokan kedalam berbagai kelompok. Baik dikelompokan karena kepentingan kekuasaan dan kewilayahan, maupun dikelompokan karena kepentingan strata, akan tetapi mereka satu dalam suatu kekuatan ibarat ikan di laut yang mengandalkan kekuatan insang untuk bernafas dan secara leluasa dapat berktifitas, karena pada hakekatnya, apapun jenis ikan, tentu ia bukan sendirian, tetapi pasti berasal dari komunitas ikan tertentu. Bahkan ikan yang berasal dari komunitas yang kecil sekalipun, tapi mampu beradaptasi dengan ikan-ikan lain di sekelilingnya. Ini sebagai pertanda bahwa, orang Kei itu mudah bersatu dengan orang lain dengan modal kepercayaan dirinya yang tinggi. Serta ayam bertelur sebagai lambang tidak punahnya masyarakat di kepulauan kei dengan cikal bakal melahirkan keturunan, untuk mewarisi semua kesepakatan leluhur yang tertuang dalam Hukum Adat Tertinggi Larvul Ngabal.

Ketiga falsafah perekat hidup bagi masyarakat Kei itu, di dalamnya mengandung nilai keadilan, yang berasaskan pada persaudaraan (ain ni ain). Dengan demikian keadilan menurut budaya Kei adalah “pengakuan teradap kepemilikan orang lain, sejauh kepemilikan itu dapat dibuktikan dengan Toom Tad (bukti sejarah)” yang bersandar pada bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, (foing fo kut fauw fo banglu), sebab semua orang Kei adalah wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur.

IV. Penutup

Dua istilah teknis yang dipakai Rawls, yaitu efisiensi dan perbedaan. Prinsip efisiensi dapat dipenuhi jika sistem ekonomi yang membawa keuntungan pada sekelompok orang tidak merugikan pada pihak lain. Artinya, konsumsi produksi, pembagian sarana produksi dan seterusnya diperuntukan kepada pihak yang kurang beruntung, dan akan dianggap efisien jika hal itu tidak merugikan pihak lainnya. Jika pembagian tersebut hanya menguntungkan suatu pihak dan ternyata kemudian justru merugikan pihak lainnya, berarti tidak efisien.[24] Bandingkan pemikiran Rawls ini dengan pasal 7 hukum Larwul Ngabal.

Adapun prinsip perbedaan dimaksudkan Rawls sebagai batasan untuk mengendalikan ketidakpastian dari prinsip efisiensi. Sebab, menurut Rawls, prinsip efisiensi di atas masih dapat bersifat sewenang-wenang jika hanya diberikan syarat yang samar, “tidak merugikan pihak lain”. Karena itu, di sini harus ada batasan lebih lanjut, yaitu prinsip perbedaan. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang berada dalam pososi yang menguntungkan harus ikut berperan aktif dalam memperbaiki kondisi mereka yang kurang beruntung. Perbaikan kondisi ini berupa pengadaan prospek yang sama untuk meraih kedudukan dan fungsinya di mana pembagian sarana sosial ekonomi tersebut dikaitkan.[25] Artinya, kegiatan masyarakat yang diasumsikan memenuhi tuntutan kebebasan yang sama (prinsip I) dan tuntutan kesamaan kesempatan yang fair (prinsip II) hanya akan dianggap adil jika perolehan sarana sosial ekonomi yang diterima pihak yang menguntungkan dipergunakan untuk memperbaiki kondisi pihak-pihak yang kurang beruntung. Bandingkan bagian pemikiran Rawls ini  dengan pasal pasal 1-4 dari hukum adat Larwul, serta pasal 5-7 dari hukum Ngabal.

Secara keseluruhan dua prinsip keadilan dari Rawls, adalah hampir sama atau mirip dengan prinsip keadilan yang ada dalam hukum Larwul Ngabal pada masyarakat Kei. Dalam hukum adat Larwul Ngabal, juga terdapar dua prinsip yang mendasari keseluruan pasalnya yakni, prinsip Larwul In Turak yang bermakna penghormatan dan penghargaan terhadap individu, berikut hak-hak asasinya, dan prinsip Ngabal In Adung, yang bermakna pemberian nasihat atau petuntuk sebagai pengatur dan pelindung, bagi setiap individu, kelompok dan komunitas masyarakat Kei, demi terwujutnya harmoni dalam masyarakat.

Akhirnya sebuah syair tua yang didaulat sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Kei saya ketengahkan disini, sebagai bagian dari falsafah hidup, sampai dengan pola pembagian lahan untuk kawasan darat maupun kawasan laut, yakni: :batatang nuhu met, fitroa fitnangan, vuut er is waar, medar er sai roan, kulwai ukadir rir wai dok tub”[26] (kita menjaga tanah dan pantai, laut dan darat, ikan-ikan mematuk akar, kuskus memakan dedaunan, tempat kediaman ulat dan cacing). Syair ini memberi gambaran yang jelas bahwa manusia dan alam beserta segenap isi kandungannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perkataan fitroa fitnangan (tujuh di laut, tujuh di darat) berarti sudah mencakup keseluruhan yang ada di laut maupun di darat. Bahkan lebih ditegaskan lagi bahwa ulat dan cacing sekalipun, mempunyai hak untuk hidup di tempat keberadaannya. Manusia dan alamnya hidup untuk saling menghidupi.

itulah makna keadilan menurut masyarakat Kei yang terpancar dari hukum adatnya.

DARTAR PUSTAKA

Haar, Ter B., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953)

Hartinigsih, Maria, Negeri yang Menjauhi Cita-Cita, (Kompas, 13 Maret 2009)

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990)

Kilmanun, I.J., Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan)

Laksono, P.M,  The Common Ground in the Kei Islands, (Yokyakarta: Galang Press, 2002)

___________, Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, (The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990).

Messakh, A.Thobias,  Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW, 2007)

Ngabalin, Marthinus, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait, (Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006.tidak diterbitkan)

Ohoitimur, Yohanis, Beberapa sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, Tesis, Sekolah Tinggi Seminari Pineleg, (Manado: tidak diterbitkan, 1983)

Pattikayhatu, J. A., dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993)

Rawls, John. Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

Rawls, John,  A Teori of Justice, (Harvard, Belknap Press, 1997)

___________, “A Theory of Justice” dalam Reason and Responsibility, Joel Fainberg (ed), (California, Belmont, 1978)

Rahail, J. P., Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993)

Rahayaan, Afia Maria, (Skripsi), Perempuan Dan Adat: Tinjauan Terhadap Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Hukum Larvul Ngabal di Masyarakat Kei, (Salatiga:Fakultas Toelogi UKSW, 2008. Tidak Diterbitkan)

Sen, Amartya, Kekerasan dan Ilusi Identitas, (Serpong-Tangerang: Marjin Kiri, 2006)

Daftar dari Internet:

http://evavcrew.blogspot.com/2008/12/kerifan-masyarakat-evav-dalam-menjaga.html,

http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Kai#Sejarah.

http://rahanrejau.mysites.nl/mypages/rahanrejau/458929.htmldiundu.

[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990)

[2] John Rawls, A Teori of Justice, (Harvard, Belknap Press, 1997), 11.

[3] Ibid, 61. Lihat juga Rawls, “A Theory of Justice” dalam Reason and Responsibility, Joel Fainberg (ed), (California, Belmont, 1978), 550. Sedangkan dalam Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW, 2007), 58, Kebutuhan dasar manusia itu, adalah 1) hak-hak atas kebebasan dasar (seperti, kebebasan berpikir, dan kebebasan nurani); 2) kebebasan bergerak dan kebebasan memilih pekerjaan; 3) kekuasaan dan hak-hak prerogatif yang bertanggung-jawab; 4) pendapatan dan kekayaan; dan 5) basis harga diri.

[4] Rawls, Theori of Justice, 14-15. Tentang tekstualisasi dari kedua prinsip ini, secara utuh lihat, Ibid, 60. Lihat juga uraian yang lebih lengkap dalam Thobias Messakh, Ibid. 58-65.

[5] Secara etimologi, Larvul Ngabal berasal dari kata Lar yang berarti Darah;  Wul yang artinya Merah; Nga yang berarti Tombak; Bal yang berarti  Bali. Jadi Larwul Ngabal artinya “Darah Merah” (yang mengalir dari tubuh sapi yang dibantai dengan tombak dari Bali), J. P. Rahail, Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993), 13

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Kai#Sejarah. Diunduh 17 Desember 2009. Lihat juga, Yohanis Ohoitimur, Beberapa sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, Tesis, Sekolah Tinggi Seminari Pineleg, (Manado: tidak diterbitkan, 1983), 8.

[7] J. A. Pattikayhatu, dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), 16; sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan fator geneologis dan faktor teritorial, dapat dibaca dalam B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953), 16

[8] Dalam masyarakat Kei saat ini, daun kelapa putih atau pucuk daun/tombak kelapa (janur) digunakan sebagi symbol sasi atau larangan. Jika janur ini diikatkan atau digantungkan pada sesuatu benda maka maknanya adalah benda tersebut tidak boleh diambil oleh orang lain.

[9] Lihat J. P. Rahail, Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993), 1-4

[10] Lihat J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 44

[11] Lihat P.M,  Laksono, The Common Ground in the Kei Islands, (Yokyakarta: Galang Press, 2002)

[12] Lihat J. A. Pattikayhatu, Ibid. 47

[13] Nang Lor Lim Yut atau Naga/Ikan Paus Lorlim, Kei Besar, dan Tombak Ngabal adalah merupakan lambang dari kelompok/persekutuan adat Lorlim

[14] Lihat J. A. Pattikayhatu, Ibid. 48-49

[15] Bandingkan Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Identitas, (Serpong-Tangerang: Marjin Kiri, 2006), 7-9. Dalam konteks ini, bagi saya, nilai keadilan yang ditawarkan itu masih bersifat keadilan dalam bentuk yang feodal, dan hal itu bertentangan dengan keadilan yang demokratis. Namun makalah ini saya tidak bermaksud untuk menguraikan konsep keadilan yang demokratis itu dari teori modern, tetapi lebih melihat keadilan yang demokratis itu dengan menggunakan paradigma budaya setempat. Artinya apa yang menurut mereka adil, bukan apa yang menurut saya adil. Walaupun pada akhirnya saya akan memberikan pertimbangan terhadap keadilan itu.

[16] Lihat uraian Maria Hartinigsih, Negeri yang Menjauhi Cita-Cita, (Kompas, 13 Maret 2009)

[17] http://rahanrejau.mysites.nl/mypages/rahanrejau/458929.htmldiundu. diundu 17 juli 2009. lihat Uaian lengkapnya dalam  J. A. Pattikayhatu , Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 51-58. Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), 51-56.

[18] Duad adalah sebutan Tuhan bagi masyarakat Kei. Tuhannya orang Kei sudah diteliti dan dapat dibaca dalam, Marthinus Ngabalin, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait, (Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006.tidak diterbitkan)

[19] lihat uraian lengkap pasal-pasal dari ketiga hukum tersebut, dalam  J. A. Pattikayhatu , Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 56-58. Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), 51-56.

[20] Lihat Yong Ohoitimur, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996)

[21] Bandingkan dengan konsep kekuasaan Jawa dalam Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. (Ithaca , N. Y : Cornell University Press, 1972), 25-27; lihat juga Syahbudin M. Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000), 11

[22] Peluru tidak bermakna modern, namun lebih pada pengrtian tradisional yang mungkin dimaknai dalam bentuk mistis. Karena itu menurut penulis,  foing fokut fauw fo banglu, dapat juga dimaknai sebagai “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”

[23]Lihat uraian lengkapnya dalam  P M. Laksono, Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990.

[24] Rawls, A Theory of Justice, 67

[25] Ibid. 75

[26] http://evavcrew.blogspot.com/2008/12/kerifan-masyarakat-evav-dalam-menjaga.html, diundu 17 juli 2009.