Thursday, July 28, 2016

LARWUL NGABAL (HUKUM ADAT DI KEPULAUAN KEI)

LARWUL NGABAL (HUKUM ADAT DI KEPULAUAN KEI)

“Jika hidup dan kehidupan kita di dunia ini berbuat baik menurut hukum adat dan agama kita, maka kita akan memperoleh bantuan dari suatu kekuatan yang tidak kita ketahui, yang akan menghantarkan kita tetap melangkah ke depan sampai ke tujuan dengan selamat (J.P. Rahail)”


PENDAHULUAN
Kepulauan Kei (Evav) adalah gugusan pulau-pulau dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara dengan ibukotanya bernama Tual (kini telah dimekarkan menjadi Kota Tual). Terdiri sekitar 100 pulau yang terbagi dalam 5 (lima) kelompok gugus pulau-pulau, yaitu Kei Besar (Nuhu Yuut), Kei Kecil (Nuhu Roa), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Tayando (Tahayad) dan Kur. Wilayah daratan secara keseluruhan seluas 24.958 km2 sedangkan wilayah lautan tidak kurang dari 190.000 km2. Secara astronomi terletak antara 5005’-6004’ LS dan 131055’-133013’ BT sedangkan secara geografis sebelah barat berbatasan dengan gugusan Kepulauan Tanimbar (Kabupaten Maluku Tenggara Barat), sebelah timur dengan gugusan Kepulauan Aru (Kabupaten Kepulauan Aru), sebelah utara dengan daratan besar Papua dan sebelah selatan dengan Australia.

Struktur tanah di Kepulauan Kei berbatu-batu dan tandus. Batu dalam Bahasa Portugis disebut “kayos”, sehingga Bangsa Portugis yang singgah pada zaman dahulu menamakannya Pulau Kei. Tanah putih mendominasi struktur tanah di Kepulauan Kei. Semua pantai berpasir putih dengan lambaian pohon nyiur. Pasir putih di Pantai Pasir Panjang yang terletak di Desa Ngilngof diklaim oleh pemda setempat sebagai paling lembut di dunia. Dalam pengamatan penulis, dibandingkan dengan banyak pantai lain yang pernah penulis temui, pantai-pantai di Kepulauan Kei adalah yang terindah dan alami.

Tanah merah yang subur jarang ditemui di Kepulauan Kei. Oleh karena itu sangat jarang masyarakat Kei mengusahakan tanaman pertanian atau perkebunan kecuali jenis umbi-umbian. Utamanya embal, yaitu sejenis singkong beracun yang kemudian diolah dan menjadi makanan pokok masyarakat setempat. Hampir semua barang kebutuhan pokok, baik berupa beras, sayur-sayuran ataupun buah-buahan didatangkan dari Jawa, Ambon, Makasar atau Papua sehingga barang-barang kebutuhan berharga beberapa kali lipat dibandingkan dengan di tempat asalnya. Akan tetapi di Kepulauan Kei potensi ikan cukup melimpah, dengan struktur pantai yang landai menjadikan daerah pasang surut sangat panjang. Saat surut itulah hasil laut seperti ikan, teripang, kerang lola (trochus niloticus), dan sejenisnya dapat dengan mudah dipanen oleh masyarakat. Sayang semakin hari hasil laut tersebut semakin sulit didapat seiring rusaknya terumbu karang sebagai akibat penggunaan potasium atau bom oleh para nelayan yang difasilitasi oleh para pengusaha ikan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, secara sosial budaya masih sangat kental dipengaruhi oleh adat yang secara turun temurun telah diikuti dan dijadikan pedoman dalam kehidupannya. Adat tersebut mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat maupun dengan alam sekitar termasuk laut sebagai sumber pencaharian. Mereka percaya, hidup berbuat baik sesuai hukum adat akan mendapatkan bantuan dari suatu kekuatan yang tidak kita ketahui yang akan menghantarkan sampai tujuan sesuai maksud syair tuturan leluhur yang hingga kini masih biasa didendangkan “Taflur Nit ma Itsob Duad, Oooo hee hoar taur, La I O (2X), La I O, Hoar taur, La I entau taur, Nel U Hoar taur, La I O (2X)”.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat baik pelanggaran pidana maupun perdata diselesaikan melalui mekanisme adat yang ada. Ketaatan masyarakat kepada hukum adat ini dapat dipahami dalam perspektif sosial budaya masyarakat Kei yang mengganggap adanya hubungan religius magis dengan alam sekitarnya. Masyarakat Kei beranggapan penyelesaian terhadap pelanggaran hukum adat dipercaya akan mengembalikan keseimbangan religius magis dengan alam tempat mereka menggantungkan penghidupan yang terganggu sebagai akibat adanya pelanggaran.

Penyelesaian pelanggaran terhadap hukum ini telah terjadi pergeseran seiring munculnya negara modern/hukum modern (positifisme hukum). Namun harus dipahami penyelesaian sengketa perdata di peradilan umum bagi bumiputera (pribumi) tunduk pada hukum adat (Pasal 131 Jo. 163 IS). Oleh karenanya pemahaman terhadap hukum adat yang di kenal dengan Larwul Ngabal mutlak diperlukan dalam penanganan sengketa perdata di Kepulauan Kei agar putusan yang dijatuhkan mencerminkan rasa keadilan masyarakat (sense of the justice of the people).

FALSAFAH DASAR ADAT KEPULAUAN KEI
Masyarakat patrilinial di Kepulauan Kei mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat erat. “Vu’ut Ain Mehe Ngifun, Manut Ain Mehe Tilur”, artinya “telur dari satu ikan dan satu burung”. Maksudnya mereka percaya bahwa mereka berasal dari satu keturunan. Sejak leluhur hingga saat ini, pepatah “ain ni ain”, yang berarti “kita semua adalah satu” masih di pegang teguh dalam sanubari masyarakat Kei. Oleh karena itu walaupun leluhur Suku Kei suka berperang, peperangan tersebut akan cepat selesai setelah jatuhnya beberapa korban.

Falsafah hidup dalam kebersamaan dan keseimbangan dengan alam maupun lingkungan tercermin dari tuturan leluhur yang hingga kini selalu dinasehatkan kepada para anak cucu. Petuah leluhur tersebut diwasiatkan dalam bentuk nyanyian atau peribahasa. Pada intinya adalah hidup dalam suatu tempat/kampung dimana kita makan dan hidup dari tempat itu, maka kita wajib mentaati segala hukum adat agar hukum adat, leluhur dan Allah melindungi kita. Selengkapnya petuah leluhur yang menjadi pokok pandangan hidup masyarakat Kei adalah sebagai berikut :
1. Itdok fo ohoi itmian fo nuhu (kita mendiami/menempati kampung/desa dimana kita hidup dan makan dari alam/tanahnya).
2. Itdok itdid kuwat dokwain itwivnon itdid mimiir/bemiir (kita menempati tempat kita dan tetap menjinjit bagian kita).
3. Itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat (kita tetap memikul semua kepentingan kampung/desa kita dengan hukum adatnya).
4. Itwait teblo uban ruran (kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan tegak lurus).
5. Ikbo hukum adat enfangnan enbatang haraang (dengan demikian, barulah hukum adat akan menyayangi/melindungi kita).
6. Nit yamad ubudtaran, nusid teod erhoverbatang fangnan (sehingga leluhur pun ikut menjaga dan menyayangi kita).
7. Duad enfangnan wuk (dan Allah pun melindungi kita).

TERBENTUKNYA HUKUM LARWUL NGABAL
Larwul Ngabal pada hakikatnya adalah dua hukum yang dipersatukan, yaitu Hukum Larwul dan Hukum Ngabal. Hukum Larwul lahir di Pulau Kei Kecil yang ditandai dengan disembelihnya seekor kerbau milik seorang puteri bernama Dit Sak Mas. Dikisahkan dari tuturan leluhur, di sebuah tempat bernama Elaar telah diadakan pertemuan yang diikuti oleh sembilan kelompok. Pertemuan tersebut dipelopori oleh kakak kandung tertua Dit Sak Mas yang bernama Teb Tut. Agenda pertemuan adalah mencanangkan hukum sebagai respon keprihatinan terhadap dirampasnya barang-barang milik Dit Sak Mas. Kejadiannya adalah ketika Dit Sak Mas dalam perjalanan dari Ohoivuur menuju Danar untuk menjumpai calon suaminya yang bernama Arnuhu, barang-barangnya habis dirampas oleh pembegal. Atas kegagalan tersebut Dit Sak Mas mengulang perjalanan dengan terlebih dahulu meletakkan daun kelapa putih (janur kuning) pada barang bawaannya sebagai tanda larangan bagi orang lain untuk mengambilnya. Penandaan barang dengan daun kelapa ini kemudian dikenal dengan sebutan sasi (Bahasa Kei : Yot/Yutut). Adat sasi sampai kini masih tetap lestari meskipun sudah mengalami perkembangan dan sering disalahgunakan. Sasi adalah larangan untuk melindungi suatu tempat/barang atau suatu hasil tertentu yang mengikat orang lain/masyarakat untuk mentaatinya.

Hukum yang dicanangkan pada pertemuan sembilan kelompok tersebut kemudian dikenal sebagai Hukum Larwul. Dalam Bahasa Kei “lar” artinya darah dan “wul” artinya merah. Pemilihan istilah larwul ini tidak dapat dilepaskan dari darah kerbau milik Dit Sak Mas yang disembelih pada waktu itu. Peristiwa penyembelihan ini merupakan simbol berlakunya Hukum Larwul. Semua bagian tubuh kerbau yang disembelih dibagikan kepada sembilan kelompok yang hadir pada waktu itu. Sembilan kelompok itu disebut Ur Siu (Rumpun Sembilan).

Di Pulau Kei Besar pada suatu tempat bernama Ler Ohoilim telah dipotong seekor ikan paus dengan menggunakan sebuah tombak dari Bali dan kemudian potongan-potongan tubuh ikan paus dibagikan kepada lima kelompok (Rumpun Lima/Loor Lim) yang hadir pada saat itu. Pemotongan ikan paus dilakukan oleh Jangra, yaitu saudara ayah Dit Sak Mas yang bernama Kasdew. Baik Jangra maupun Kasdew adalah pendatang dari Pulau Bali yang kemudian menetap di Kepulauan Kei. Selanjutnya sejarah adat di Kepulauan Kei banyak terpengaruh oleh budaya Bali yang dibawa oleh kedua orang tersebut.

Peristiwa di Ler Ohoilim ini menandai berlakunya Hukum Ngabal, “nga” artinya tombak sedangkan “bal” adalah singkatan dari Bali. Maksudnya adalah hukum tombak dari Pulau Bali karena berlakunya ditandai dengan dibunuhnya ikan paus dengan menggunakan sebuah tombak yang dibawa dari Pulau Bali oleh Jangra.

Baik Rumpun Sembilan (Ur Siu) yang lahir di Elaar maupun Rumpun Lima (Lor Lim) yang lahir di Ler Ohoilim selalu saling berperang. Oleh karena itu muncul juga satu kelompok yang tidak membela salah satu pihak yang bertikai (non blok) yang disebut dengan Loor Labai. Pada akhirnya kedua kelompok yang bertikai dapat berdamai dan bersepakat menggunakan Hukum Larwul dan Hukum Ngabal secara berdampingan.

Hukum Larwul berisi 4 pasal yang isinya adalah kaidah-kaidah hukum pidana sedangkan Hukum Ngabal berisi 3 pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum kesusilaan dan hukum perdata. Dalam Hukum Larwul Ngabal, Hukum Larwul menempati Pasal 1 s/d 4 sedangkan Hukum Ngabal menempati Pasal 5 s/d 7. Isi selengkapnya Hukum Larwul Ngabal adalah sebagai berikut :
1. Uud entauk atvunad (kepala kita bertumpu pada tengkuk kita). Hal ini adalah penghargaan terhadap pemerintah dan harus dipastikan bahwa pemerintahan adalah untuk melindungi dan menjamin kehidupan masyarakat.
2. Lelad ain fo mahiling (leher kita dihormati, diluhurkan). Maksudnya adalah kehidupan bersifat luhur dan mulia sehingga hidup seseorang harus dipelihara, tidak boleh diganggu. 
3. Uil nit enwil rumud (kulit dari tanah membungkus badan kita). Kaidah ini adalah penghargaan terhadap kehormatan, nama baik/harga diri manusia. Oleh karena itu kehormatan orang lain harus diakui dan tidak boleh dicemarkan.
4. Lar nakmot na rumud (darah tertutup dalam tubuh). Tubuh manusia harus dimuliakan sehingga tidak diperkenankan melakukan pembunuhan atau penganiayaan. Perlakuan sewenang-wenang dilarang, apalagi sampai menumpahkan darah dengan melukai orang lain atau diri sendiri.
5. Rek fo kilmutun (perkawinan hendaklah pada tempatnya agar tetap suci dan murni). Kaidah hukum ini adalah penghargaan terhadap kehidupan rumah tangga orang lain. Rumah tangga harus dihormati, tidak boleh diganggu gugat dan tidak boleh ada orang ketiga karena perkawinan adalah kehendak Allah.
6. Morjain fo mahiling (tempat untuk perempuan dihormati, diluhurkan). Kaidah hukum ini adalah penghargaan terhadap perempuan sebagai mahluk yang paling dihormati/dihargai. Penjabarannya adalah pelarangan terhadap segala bentuk tindakan asusila yang mengusik harkat dan martabat perempuan.
7. Hira i ni fo i ni, it did fo it did (milik orang tetap milik mereka, milik kita tetap milik kita). Ini adalah kaidah dasar yang menjamin dan mengakui pemilikan barang oleh orang lain.
Atas dasar ketujuh kaidah dasar tersebut, dijabarkan lebih kongkrit dalam larangan/pelanggaran-pelanggaran dalam hukum adat yang isinya berurutan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran sebagai berikut :

I. Hukum Nev Nev, adalah hukum yang mengatur tentang kehidupan (hukum pidana). Isinya berupa penjabaran lebih lanjut dari Pasal 1 s/d 4 Larwul Ngabal kedalam tujuh pelanggaran (sasa sor fit) :
1. Muur nai, subantai (mengata-ngatai, menyumpahi).
2. Hebang haung atau haung hebang (bererencana dan berniat jahat).
3. Rasung smu-rodang daid (mencelakakan dengan jalan ilmu hitam, doti, dll)
4. Kev bangil atau ov bangil (memukul, meninju).
5. Tev hai-sung tawat (melempar, menikam, menusuk).
6. Fedan na, tetwanga (membunuh, memotong, memancung).
7. Tivak luduk fo vavain (menguburkan, menenggelamkan hidup-hidup).

II. Hukum Hanilit, adalah hukum yang mengatur mengenai kesusilaan atau kesopanan (hukum kesusilaan). Isinya berupa penjabaran dari Pasal 5 s/d 6 Larwul Ngabal kedalam tujuh tingkat pelanggaran :
1. Sis af, sivar usbuuk (memanggil dengan melambaikan tangan, mendesis atau bersiul).
2. Kufuk matko (bermain mata).
3. Kis kafir, temar u mur (mengorek dengan cara mencubit atau menyenggol dengan busur panah bagian muka maupun belakang).
4. En a lebak, en humak voan (meraih, memeluk, mencium).
5. Enwail, sig baraung enkom lawur (membuka penutup dan merusakkannya).
6. Enwel ev yan (hamil di luar nikah).
7. Ftu fweer (membawa lari atau kawin lari).

Dari tujuh pelanggaran (sasa sor fit) tersebut, masih terdapat tiga sasa sor fit dalam Hukum Hanilit, tetapi karena beratnya ancaman hukuman yang diancamkan, maka penyelesaiannya dimasukkan dalam Hukum Nev Nev, yaitu :
1. Rehe wat tee (merampas isteri orang lain).
2. Itwail ngutun-enan, itlawur umat hoan (membuka keluar penutup di atas dan bawah, merusak isteri orang lain).
3. Dos sa te’en yanat te urwair tunan (kejahatan persetubuhan sedarah/sekandung).

III. Hukum Hawear Balwirin, adalah hukum yang dimaksudkan untuk memulihkan hak-hak kepemilikan yang dilanggar oleh orang lain (hukum perdata). Berisi penjabaran dari Pasal 7 Larwul Ngabal kedalam tujuh pelanggaran (sasa sor fit) yaitu:
1. Faryatad sa (menginginkan barang milik orang secara tidak syah).
2. Etkulik fanaub atau fatub afa bor-bor (menyimpan barang curian).
3. It bor (mencuri).
4. Tefen it na il umat i ni afa it liik ke te itfanaub (tidak mau mengembalikan barang orang lain yang ditemukan atau disimpan secara sengaja maupun tidak sengaja).
5. Taan gogom atau taan rorom/rasum/ratsun (tidak bekerja, hanya makan dengan cara mencuri saja). 
6. It lawur kom i ra i ni afa (merusakan atau membinasakan barang orang lain).
7. Et na ded vut raut fo en fasus te enfakuis umat lian (mengambil atau melakukan apa saja dengan berbagai cara untuk menyusahkan orang lain).

Penyelesaian terhadap pelanggaran yang terjadi dilakukan oleh kepala soa (kepala dusun), orang kay (kepala desa) atau raja (kepala wilayah adat) secara berjenjang apabila pada tingkatan yang paling rendah belum dapat menyelesaikan persoalan. Akan tetapi semuanya tetap harus melalui sidang majelis kerapatan adat (dewan seniri) bersama seluruh staf kerapatan adat tersebut. Pada sidang tersebut akan ditentukan sanksi bagi pelanggar sesuai berat-ringannya pelanggaran yang dilakukan. Sanksi terberat adalah terhadap pelanggaran yang mengakibatkan kematian, yaitu pelanggar akan ditenggelamkan hidup-hidup kedalam laut. Namun sebelum prosesi hukuman dijalankan akan ditawarkan kepada masyarakat apakah ada yang akan menebus si pelanggar. Tebusan ini disebut “entuv tuel na ai ngam ensak”, tebusannya berupa benda-benda adat seperti gong, lela (meriam) atau emas adat yang jumlahnya diperhitungkan sebagai pengganti bagian-bagian dari tubuh si pelanggar. Apabila ada yang menebus, maka pelanggar tidak ditenggelamkan tetapi yang ditenggelamkan adalah tebusannya. Sanksi adat terberat ini kini telah lama ditinggalkan dan digantikan dengan hukuman yang diputuskan oleh peradilan umum.

WILAYAH DAN PEMERINTAHAN ADAT
Di Kepulauan Kei terbagi dalam 22 ratschaap (wilayah adat) dimana masing-masing ratschaap dipimpin oleh seorang rat atau raja. Setiap ratschaap masuk dalam salah satu dari tiga persekutuan besar yaitu Ur Siu (Rumpun Sembilan), Loor Lim (Rumpun Lima) dan Loor Labai (Rumpun Penengah). Tercatat sepuluh ratschaap tergabung dalam Ur siu, sepuluh ratschaap berikutnya tergabung dalam Loor Lim dan sisanya dua ratschaap tergabung dalam Loor Labai.

Setiap ratschaap terdiri dari satu atau beberapa desa (ohoi) yang mempunyai hubungan erat dalam segi teritorial atau geneologis. Ohoi merupakan gabungan beberapa dusun (soa) yang dipimpin oleh orang kay (kepala desa). Setiap dusun atau soa dipimpin oleh seorang kepala soa (kepala dusun). 
Berdasarkan ceritera para leluhur, para pendatang dari luar Kepulauan Kei datang bergabung dengan masyarakat asli. Seiring semakin banyaknya penduduk di suatu tempat, maka dirasakan perlunya membuat pemerintahan yang dapat menaungi seluruh masyarakat tersebut. Para pendatang dianggap lebih pandai dan berani sehingga ditempatkan sebagai pemimpin yang disebut sebagai orang kay (kepala desa) sedangkan penduduk asli menjadi menjadi tuan tan/toran nuhu (tuan tanah) karena dianggap sangat mengetahui segala sesuatu yang berhubungan wilayahnya. Ikatan persaudaraan antara mereka dilakukan dengan jalan mengiris tangan dan meminum darahnya sebagai simbol ikatan persaudaraan. Konsekuensinya perkawinan antara mereka diharamkan. Hal ini merupakan asal mula pembagian kasta dalam masyarakat Kei. Kasta “mel-mel” adalah kasta tertinggi untuk para pendatang yang kemudian menjadi pemimpin (bangsawan), dibawahnya terdapat kasta “ren-ren” atau kasta menengah yang terdiri dari penduduk asli dan kasta “iri-iri” adalah kasta paling bawah. Kasta “iri-iri” adalah kasta untuk para budak yang berasal dari para tahanan yang kalah dalam peperangan atau para terpidana yang dihukum mati karena melakukan pelanggaran terhadap hukum adat namun lolos dari hukuman mati karena ada yang menebusnya. 

Jabatan-jabatan dalam pemerintahan adat dibagikan secara merata kepada semua faam (marga) asli yang membentuk pemerintahan tersebut. Selanjutnya jabatan itu akan dilanjutkan oleh keturunan lurus dalam garis laki-laki dengan prioritas pada putra tertua. Berikut diuraikan jabatan-jabatan dalam adat Kei sebagai berikut :
1. Rat atau Raja adalah sebagai kepala pemerintahan dalam suatu wilayah ratschaap. Tugasnya diantaranya adalah mengkoordinir tugas-tugas pemerintahan yang dilakukan oleh orang kay, menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh orang kay termasuk pelanggaran-pelanggaran terhadap adat serta menjaga dan mempertahankan hukum adat.
2. Kapitan (Akbitan) dan Mayor adalah jabatan untuk panglima perang. Tugasnya membantu raja dalam menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran hukum adat terutama dalam soal peperangan.
3. Orang Kay (Kepala Desa) adalah kepala pemerintahan di tingkat ohoi yang membawahi beberapa dusun. Orang kay bertugas memimpin penyelenggaraan pemerintahan dalam wilayahnya dan mengatur serta menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan adat.
4. Tuan Tan/Toran Nuhu adalah tuan tanah dengan tugas memperhatikan batas-batas tanah. Peranan tuan tan akan terlihat dalam pembukaan hutan, menanam atau memanen hasil bumi ataupun hasil laut. Walaupun nama jabatannya adalah tuan tan, akan tetapi tuan tan bukanlah pemilik tanah. Tuan tan tidak berhak menjual atau menyerahkan tanah kepada orang lain apalagi untuk kepentingan pribadi. Menurut pengamatan penulis, selama ini sering terjadi salah persepsi dimana tuan tan dianggap sebagai orang yang memiliki semua tanah dalam suatu desa. Apabila persepsi ini dibenarkan oleh hakim dalam memutus perkara tentu akan mengakibatkan konflik horisontal.
5. Dir’u, Ham Wang atau Wawat adalah pemuka yang sangat ahli berbicara dan dianggap adil dalam melakukan pembagian. Nasehat dan pengalamannya sangat didengar untuk kebaikan bersama.
6. Dewan Seniri adalah dewan perwakilan yang beranggotakan kepala-kepala faam (marga). Tugasnya memberikan nasehat-nasehat mengenai pemerintahan kepada orang kay.
7. Mitu Duan (Pemuka Berhala) bertugas sebagai pemimpin upacara-upacara adat, memimpin doa dan persembahan (sesaji) maupun memohon keselamatan bagi seluruh warga masyarakat.
8. Marinyo adalah jabatan bagi pesuruh kampung yang bertugas mengumumkan perintah atasan kepada masyarakat.
9. Kepala Soa (Kepala Dusun) adalah jabatan yang hampir sama dengan jabatan orang kay akan tetapi terbatas dalam wilayah dusun. Kepala soa membawahi satu atau beberapa marga, tugasnya meliputi menjaga batas-batas desa dari penyerobotan tanah yang dilakukan oleh desa atau dusun lainnya. 
10. Kepala Faam merupakan jabatan kepala marga sehingga tugasnya banyak bersifat intern marga. Tugasnya diantaranya adalah memimpin marga melakukan gotong-royong (maren), memimpin musyawarah, dan dapat melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama marga yang didasarkan kesepakatan musyawarah dengan semua anggota marga.

PERKAWINAN
Masyarakat Suku Kei adalah masyarakat patrilinial, garis keturunan didasarkan pada garis laki-laki. Sesudah seorang perempuan menikah, maka ia telah beralih mengikuti marga suaminya, begitu juga anak-anak yang dilahirkannya. Oleh kerena itu, tidak mengherankan apabila dalam hal pewarisan, anak perempuan hanya mempunyai “hak makan” karena seorang perempuan akan “kawin keluar” dan mengikuti marga suaminya.

Mas kawin yang diberikan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan dianggap sebagai penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan atau membesarkan mempelai perempuan. Dalam Bahasa Kei (evav) disebut “envav renan ni fiit” yang artinya memikul beban ibunya. Mas kawin yang telah ditentukan kadang dianggap sangat tinggi sehingga memberatkan pihak keluarga mempelai laki-laki. Lazimnya dalam keadaan demikian pihak keluarga mempelai perempuan memberikan balasan dengan memberikan sandang pangan, perhiasan, alat-alat rumah tangga atau dapat juga berupa tanah. Hadiah balasan ini ditanggung oleh keluarga mempelai perempuan dan dinikmati oleh seluruh keluarga mempelai laki-laki maupun perempuan.
Walaupun perkawinan berhukum bapak (patrilinial), namun dalam adat evav dikenal istilah “kawin abdi” yang dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut :
1. Navdu Vat Vilin (bertuan karena mas kawin adat), yaitu walaupun telah melangsungkan perkawinan namun mempelai laki-laki belum dapat memboyong mempelai perempuan kedalam keluarga besarnya dikarenakan belum dipenuhinya mas kawin yang ditentukan dalam adat. Mempelai laki-laki tetap tinggal di rumah mempelai wanita, akan tetapi istri dan anaknya tetap mengikuti marganya (mempelai laki-laki).
2. Kawin Masuk Marga Isteri, yaitu mempelai laki-laki masuk menjadi marga mempelai perempuan sehingga anak-anak yang terlahir akan menggunakan marga istri (ibu). Hal ini biasanya terjadi karena perkawinan tidak disetujui oleh orang tua mempelai laki-laki. Tidak setujunya orang tua mempelai laki-laki misalnya karena adanya hubungan kekerabatan pada zaman dahulu yang disebut dengan tea bel (pela) atau bisa juga karena adanya perbedaan kasta.
3. Al Uha/Endir Iluk Uha/Endir Ai Wa’ar Ratan (menjadi penerus keturunan yang berdiri di atas akar kayu), yaitu dalam perkawinan yang terjadi mempelai laki-laki secara suka rela berganti memakai marga mempelai perempuan. Biasanya terjadi dalam sebuah keluarga yang kaya, namun tidak mempunyai anak laki-laki sehingga untuk meneruskan usaha, maka dicarilah seorang laki-laki yang berasal dari marga lain tetapi masih mempunyai hubungan darah untuk secara suka rela menikah dengan anak perempuannya dan berganti marga dengan cara menggunakan marga mempelai perempuan di belakang namanya.

SISTEM PEMILIKAN TANAH DAN LAUT
Tanah dan laut di Kepulauan Kei pada dasarnya telah dibagi habis pemilikannya kepada seluruh warga masyarakat dalam satuan wilayah petuanan. Masih eksisnya hak petuanan tersebut berimplikasi pada penguasaan tanah selama bertahun-tahun atau beberapa generasi belum dapat diberikan justifikasi sebagai pemilik tanah tersebut, karena orang yang bukan bagian dari pemilik petuanan dapat saja mengelola tanah atas izin pemiliknya, misalnya lahan daur ulang (kait) yang setelah tidak digunakan oleh pemiliknya akan ditinggalkan dan kemudian dapat dikelola oleh orang lain. Pengelolaan tanah oleh bukan pemilik tersebut pada akhirnya dapat berlangsung terus-menerus. Selaras dengan nilai ekonomis tanah yang meningkat munculah sengketa antara pengelola dengan pemiliknya. Oleh karenanya untuk mengetahui siapakah pemilik tanah, maka perlu digali sejarah pemilikan tanah ataupun asal usul pengelolaan tanah. Setiap sejarah adat mengenai pemilikan tanah oleh suatu marga/desa selalu mendapatkan pengakuan dari marga/desa lain yang petuanannya berbatasan.

Untuk memastikan pemilik tanah petuanan dapat dilihat dari wasiat, syair atau nyanyian yang dituturkan oleh leluhur. Dapat juga dilihat dari bukti fisik yang masih berdiri seperti adanya woma, yaitu suatu tempat yang dikelilingi tembok terbuat dari tumpukan batu. Woma secara harfiah berarti adalah pusat kampung, biasanya marga yang pertama kali menetap di suatu tempat akan mendirikan woma di tempat yang sulit dijangkau supaya efektif sebagai tempat pertahanan dari serangan musuh ataupun binatang buas. Batas-batas tanah petuanan biasanya berupa puncak/kaki bukit, lembah, batu besar, tumpukan batu, pohon besar atau aliran sungai.
Pembagian pemilikan tanah dan laut kepada seluruh warga masyarakat adat dalam satuan wilayah petuanan adalah sebagai berikut :
a. Petuanan Umum Desa/Kampung yang disebut utan/bilan/ohoinuhu, yakni wilayah darat yang menjadi milik bersama seluruh warga masyarakat desa/kampung yang bersangkutan. Wilayah petuanan ini mencakup seluruh tanah desa/kampung, mulai dari kawasan pusat pemukiman atau pusat kampung/desa (ohoi) sampai kawasan hutan primair (warain vaveon) disekitarnya, termasuk luas kawasan laut dari garis batas daratan (ruat met soin) sampai kebatas kawasan laut bebas (tahit ni wear) yang ditarik sebagai suatu garis lurus dari tapal batas petuanan darat. Dengan demikian, luas suatu wilayah petuanan umum desa/kampung di Kei sama dengan luas total tanah kampung/desa yang bersangkutan ditambah luas kawasan laut dihadapannya.
b. Dalam kawasan Petuanan Umum Desa/Kampung tersebut, terdapat Petuanan Marga yang disebut rahan faam atau buuk faam, yakni kawasan yang dimiliki secara tetap oleh satu marga (soa) warga asli masyarakat adat desa/kampung yang bersangkutan. Setiap marga dalam satu kampung/desa memiliki petuanannya masing-masing, sebagai bagian dari keseluruhan petuanan umum desa/kampung yang bersangkutan. Petuanan marga ini hanya mencakup kawasan darat, mulai dari pusat pemukiman (ohoi) sampai ladang daur ulang (kait). Artinya, pemilikan lahan secara tetap oleh suatu marga hanya diperbolehkan untuk keperluan perumahan dan kebun dalam kampung (ohoi dan ohoi murin), kebun luar kampung/tepi kampung (rok) serta ladang daur ulang (kait). Adapun kawasan hutan produksi tetap (warain), hutan primair (waraian vaweon) dan dusun sagu (meon) tetap menjadi milik komunal (ulayat bersama) seluruh warga desa/kampung yang bersangkutan, tidak boleh ada pemilikan marga, apalagi pemilikan pribadi. Demikian pula halnya dengan kawasan laut, seluruhnya merupakan petuanan umum desa/kampung yang tidak boleh dimiliki oleh satu marga atau pribadi tertentu.
c. Dalam kawasan petuanan marga tersebut, barulah terdapat petuanan keluarga pati (nutun riin matan), yakni lahan yang dimiliki secara tetap oleh suatu rumah-tangga anggota marga yang bersangkutan. Umumnya hanya terbatas untuk perumahan dalam kampung (ohoi) dan kebun dalam kampung (ohoi murin), sementara kawasan kebun luar/tepi kampung (rok) dan ladang daur ulang (kait) tetaplah merupakan petuanan marga.

Pengecualian terhadap sistem di atas dapat saja terjadi, misalnya adanya tanah yang telah diberikan kepada suatu marga sebagai imbalan jasa karena membantu dalam peperangan. Pada zaman dahulu sering terjadi pihak yang menang perang dalam suasana senang memberikan sebidang tanah kepada pihak yang membantunya. Dalam peperangan terdapat juga sejarah berupa pihak yang kalah perang menunjuk sebagian tanahnya untuk menjadi “hak makan” bagi pihak yang menang perang. Pemilik tanah tetap berada pada desa yang kalah perang, hanya orang dari desa yang menang perang bebas untuk mengambil hasil tanpa gangguan dari pihak pemilik petuanan. Pengecualian lain terjadi dalam hal sebagian kecil dari tanah petuanan desa diberikan kepada desa lain untuk tempat persobatan atau tempat persinggahan/istirahat apabila mereka bepergian atau berlayar.

Perampasan hak milik atas tanah sering menimbulkan peperangan atau pembunuhan. Amanat leluhur “mel yanan ro nmat, ne mas tom ro nmam, nan bail yanad urad fel nuhu wahan soen” yang artinya “anak bangsawan gugur dan mas pusaka dikorbankan untuk membela sanak saudari dan batas tanah mempertahankan hak milik tanah/meti (laut yang kering ketika surut)”. Kekacauan tersebut kemudian akan diselesaikan oleh para pemangku adat dan apabila tidak dapat diselesaikan, maka akan dilakukan sumpah “makan tanah”. Sumpah tersebut dilakukan dengan cara mengambil sedikit tanah yang disengketakan kemudian dicampur dengan air laut dan air tawar, ditambah sedikit serbuk emas. 

Selanjutnya tetua adat akan mengambil sumpah, baru kemudian air campuran tersebut diminumkan. Sumpah demikian dipercaya mempunyai konsekuensi mistik sehingga sangat ditakuti oleh orang yang bersengketa tanpa dasar hak.

PENUTUP
Hukum Larwul Ngabal telah mempersatukan dan mendamaikan masyarakat Kei sejak beratus-ratus tahun yang lalu dari segala bentuk perpecahan dan peperangan. Bagi masyarakat Kei, agama boleh berbeda tetapi tetap dipersatukan oleh satu hukum adat. Terbukti dari konflik agama pada tahun 1999, tidak kurang dari 200 jiwa meninggal, ratusan lainnya menderita luka berat ataupun ringan dan puluhan desa nyaris rata dengan tanah, tetapi dengan pola rekonsiliasi yang mengedepankan hukum adat, konflik tersebut segera berakhir. Saat ini suasana sangat kondusif, berbeda dengan daerah-daerah lain yang hingga bertahun-tahun lamanya masih terdengar berita konflik yang tidak kunjung selesai.

Penghargaan masyarakat Kei terhadap hukum adat dapat dipahami sebagai kongkretisasi nilai-nilai, sikap, pandangan maupun paradigma masyarakat terhadap hidup dan kehidupan yang terbentuk dan berkembang selama beratus-ratus tahun. Hukum demikian dapat dipahami sebagai “a great antrhrpological document” sehingga merupakan hukum responsif karena sebagai cerminan kebutuhan dan budaya masyarakat yang bersangkutan. 

Sayang, seiring dengan pardigma positifisme dalam pembangunan hukum, keberadaan hukum adat selama ini banyak terpinggirkan. Lembaga-lembaga lokal otonom yang mendukung berfungsinya proses sosial banyak digantikan dengan lembaga-lembaga baru yang bukan merupakan cerminan dari basis sosial setempat. Berbagai undang-undang dilahirkan dengan keyakinan hanya hukum positiflah yang mampu mencapai tujuan dari hukum, yaitu kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan.
Hal ini terlihat dari UU No. 5/1960 yang hanya memungkinkan hukum adat berlaku namun sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi atau kepentingan nasional. UU No. 5/1979 juga adalah bukti nyata peran negara dalam memberangus hukum adat dengan cara menyeragamkan pemerintahan desa sehingga tidak mempunyai akar sosiologis masyarakat adat setempat. Namun kini dengan keberadaan UU No. 22/1999 Jo. UU No. 32/2004 dapat dianggap sebagai kepedulian terhadap the living law karena adanya pengakuan terhadap lembaga-lembaga lokal otonom (misalnya di Kepulauan Kei : Ohoi) walaupun masih dengan batasan-batasan yang sangat ketat. Diharapkan hukum adat dapat semakin eksis dan berkembang serta dapat menjadi sumber nilai-nilai yang mendasari pembentukan hukum nasional.

Catatan :
Hak petuanan selalu berkorelasi dengan intensitas hubungan antar individu dalam masyarakat. Semakin maju dan bebas (rasional-individual) masyarakat membawa konsekuensi hak petuanan yang bersifat komunalistik religius akan melemah. Olehkarenanya walaupun hak petuanan masih eksis, tetapi telah banyak juga tanah-tanah yang menjadi milik pribadi sebagai akibat jual-beli, hibah, tukar-menukar dan bahkan pewarisan. Konsekuensinya dalam memeriksa sengketa tanah perlu diteliti eksistensi tanah petuanan itu sendiri, sejarah tanah maupun asal usul pengelolaan tanah.

Gunung Sugih, 5 Maret 2009
Penulis,

Hasanudin

DAFTAR BACAAN

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta : Djambatan, 1995.
Imam Sudiat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta : Liberty, 2000.

J.P. Rahail, Larwul Ngabal, Jakarta : Yayasan Sejati, 1993.

--------, Batbatang Fidroa Fidnangan, Tata Guna Tanah dan Laut Tradisional Kepulauan Kei, Jakarta : Yayasan Sejati, 1995.

P.H. Renyaan, Adat Istiadat Evav, Tual : SMP Budi Mulia Langgur, tanpa tahun.

P.M. Laksono & Roem Topatimasang (Penyunting), Ken Sa Faak, Benih-Benih Perdamaian Di Kepulauan Kei, Tual-Yogyakarta : Nen Mas Il-Insist Press, 2004.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2007.

Tim Peneliti FH Universitas Pattimura, Sistem Pemerintahan Adat di Kabupaten Maluku Tenggara, Hasil Penelitian, Oktober 2005.

HUKUM ADAT LARVUL NGABAL

HUKUM ADAT LARVUL NGABAL

Cerita Larvul Ngabal merupakan Produk Budaya Yang menyampaikan sejumlah PESAN sector berkaitan Mencari Google Artikel Baru Filosofi, SISTEM kepercayaan, norma-norma Dan hukum tersebut Komunitas Kei . Secara substantif, cerita Larvul Ngabal adalah suatu genre yang sastra lisan, yakni cerita rakyat Yang dianggap sakral Dibuat orangutan Kei Dan diyakini benar-benar terjadi PADA Terbalik lampau memiliki bentuk, makna-fungsi Dan pemertahanan Yang dituturkan secara Unik Dan spesifik. 

Penelitian dilakukan Suami Mencari Google Artikel Menyelidiki mendeskripsikan tentang cerita Larvul Ngabal, khususnya mengenai: (1) bentuk-bentuk cerita Larvul Ngabal berdasarkan isinya, (2) makna cerita Larvul Ngabal Yang mengaitkan hubungan manusia Mencari Google Artikel sesuatu di Luar dirinya Yang sewa yang pajaknya vertikal maupun horisontal, Serta sirkular -Harmonis; Dan fungsi cerita Larvul Ngabal Yang dianggap Mampu mempengaruhi Dan mengarahkan therapy terapi orangutan Kei , (3) Strategi pemertahanan cerita Larvul Ngabal berdasarkan Aspek normatif Dan relatifnya. SIBOR substansi Suami dianggap cukup akuntabel merepresentasikan sector Kei .

Penelitian merupakan penelitian kualitatif Suami Mencari Google Artikel ancangan Hermeneutika. Datanya berwujud kutipan CARI cerita , tindakan orangutan Kei , pernyataan informan, Dan Fakta Historis. Data tersebut diperoleh bahasa Dari 3 macam Sumber, yakni: Sumber lisan berupa 14 dokumen cerita Larvul Ngabal bahasa Dari 14 orangutan informan, Masyarakat pemilikcerita di Kei Besar Dan Kei Kecil Serta dokumen tertulis Lainnya. Lingkungan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan Google Artikel Baru Teknik observasi, wawancara Mendalam, Dan kajian dokumen. Dalam penelitian Suami Peneliti bertindak sebagai instrumen mohammad Mencari Google Artikel dipandu Dibuat Pedoman pengumpulan data. Analisis data yang dilakukan Google Artikel Baru 

Model lingkaran hermeneutis Schleiermarcher Dan Model interpertasi Ricoeur Dan Dilthey. Mencari Google Artikel Model Suami analisis data yang berlangsung secara interaktif-dialektif. PADA saat pengumpulan data yang berlangsung, Peneliti sekaligus melakukan reduksi data, penyajian data, interpretasi data, penarikan simpulan Dan. SIBOR substansi penelitian dipahami secara verstehen Canada produksi tingkat semantik, reflektif, Dan eksistensif. Trianggulasi dilakukan Peneliti untuk menghindari prasangka PADA terkait masih berlangsung tahap penelitian, perangkat penelitian, Dan klarifikasi temuan penelitian kepada Pakar sector Kei .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ke 14 CARI cerita Larvul Ngabal memiliki karakteristik sebagai bentuk cerita manusia endogeonik, cerita kosmogonik, Dan cerita transformasi. SIBOR bentuk cerita ITU dirangkum Dibuat tema Asal-usul orangutan Kei , Sakmas perjalanan Dit, pembentukan hukum tersebut, Dan pengangkatan raja-raja.

Makna cerita Larvul Ngabal mencerminkan pandangan Hidup orangutan Kei Yang mengandung konsepsi Mendalam Dan gagasan mengenai wujud kehidupan mengenai hubungan manusia Dan alam Baik secara vertikal manusia ANTARA Mencari Google Artikel Tuhan, hubungan horisontal manusia ANTARA Mencari Google Artikel Baru Dan hubungan sirkular manusia-manusia Harmonis ANTARA Mencari Google Artikel alam sebagai suatu totalitas bahasa Dari sikap Hidup orangutan Kei Yang tercermin dalam makna filosofis, makna religis, makna kosmologis, Dan makna mistis.
Fungsi cerita Larvul Ngabal mengarah PADA: fungsi sosiologis, fungsi pedagogis, fungsi yuridis. Fungsi sosiologis diimplementasikan sebagai Sarana pengungkap Asal-usul, sebagai pengungkap struktur sisial Masyarakat Kei , Dan sebagai Sarana untuk memperkenalkan SISTEM pemerintahan Baru. Fungsi pedagogis mengukuhkan cerita Larvul Ngabal sebagai Model Pendidikan etis moral, ajaran tentang pembaharuan, mengajarkan bahasa simbolik. Sedangkan fungsi yuridis, cerita Ngabal merupakan hukum tersebut Yang membuat primer ketentuan tentang masalah pidana maupun perdata.  
Strategi pemertahanan Larvul Ngabal mengacu PADA: (1) Cara-Cara pemertahanan Yang dilakukan Canada produksi Tiga jalur: (a) jalur Keluarga, (b) jalur Masyarakat dan (c) jalur pemerintah Lokal. (2) peran pemertahanan Yang terakumulasi dalam kehidupan orangutan Kei yaitu: (a) pemertahanan jati Diri orangutan Kei Yang dilakukan Canada produksi bahasa Yang Sama Dan hukum tersebut adat Yang Sama, Struktur pemerintahan Yang akomodatif, Ikatan persaudaraan, Politik Masyarakat Kei . (b) menghadapi tantangan Jaman perubahan akibat: pengaruh Agama, Pendidikan, pengaruh Ekonomi, perubahan Kepemilikan Modal di sisial-sector Dan pengaruh Politik. 

Temuan penelitian mengatakan bahwa cerita Larvul Ngabal sebagai representasi sector Kei KARENA merupakan Intisari pengalaman orangutan Kei Yang transendental, reflektif, Dan relevan Mencari Google Artikel Kebudayaan manusia PADA umumnya. Cerita Larvul Ngabal Mampu merangkum, memproyeksikan, Dan mengukuhkan pandangan Hidup Dan norma-norma tradisi orangutan Kei . Konsep dasarnya memiliki pengaruh Yang cukup dominan dalam kerangka berpikir orangutan Kei dewasa inisial. Temuan-temuan Suami mempunyai implikasi Yang cukup berharga, Baik bahasa Dari Aspek teoritis maupun Praktis. Secara teoritis temuan kajian cerita Larvul Ngabal, berimplikasi terhadap disiplin Ilmu sastra Dan interdisipliner sastra, Serta antropologi. Secara Praktis temuan Suami bermanfaat * Bagi Masyarakat Kei untuk menjadi pegangan dalam pemertahanan sector Kei , terutama cerita Larvul Ngabal.

Penelitian disarankan kepada Masyarakat Kei untuk memiliki Dan menggunakan cerita -cerita tersebut untuk memperkaya Wawasan Masyarakat, Dan untuk para ilmuan, Dosen sastra, Peneliti, guru muatan Lokal di Kei , Serta Lembaga English Baik di Daerah maupun di Pusat untuk lebih mendalami Dan menggalinya menuju kesempurnaan. Kepada pemerintah Daerah sebagai pengambil keputusan, disarankan untuk menjadikan cerita Dan ritus Larvul Ngabal sebagai Menyelidiki wisata yang sector untuk memajukan Daerah Kei Ke depan

Larvul Ngabal adalah budaya produk mewakili jumlah pesan budaya berkaitan dengan filosofi, sistem kepercayaan, dan norma-norma hukum Kei masyarakat. Secara substansial, Ngabal Ngabal adalah genre sastra tradisi lisan cerita rakyat, dianggap suci dan diyakini oleh Kei masyarakat dan benar-benar meyakinkan terjadi di masa lalu. Itu juga fundamental dan makna fungsional yang dibutuhkan untuk menjadi warisan nenek moyang ke generasi berikutnya, dengan cara yang unik dan spesifik.

Penelitian ini dilakukan karena tujuan untuk menggambarkan kisah Ngabal Ngabal, terutama difokuskan pada tiga aspek sebagai berikut: 1) bentuk Cerita Larvul Ngabal berdasarkan isinya, 2) Makna cerita Larvul Ngabal yang menghubungkan hubungan manusia dengan hal-hal di luar diri mereka secara vertikal dan horizontal, dan juga lingkaran harmoni dan fungsi cerita Larvul Ngabal yang diyakini bisa mempengaruhi dan mengarahkan sikap orang-orang Kei , (3) Strategi pertahanan Larvul Ngabal berdasarkan normatif dan aspek relatif. Ketiga zat yang diyakini bertanggung jawab cukup untuk mewakili budaya Kei .

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan hermeneutika. Gaya data yang diperoleh dari penjelasan cerita, teks cerita, aksi Kei orang, pernyataan informan, dan fakta-fakta cerita. Data tersebut diperoleh dari tiga macam sumber, yaitu: sumber lisan seperti empat belas kisah Ngabal Ngabal, empat belas informan, pemilik cerita dari Kei Besar dan Kei Kecil dan dokumen tertulis lainnya. Kegiatan koleksi data dilakukan melalui observasi teknis, wawancara serius, dan studi dokumen. Dalam penelitian ini peneliti menjadi instrumen kunci dipandu oleh pengumpulan data. Analisis data dilakukan dengan menggunakan model lingkaran hermeneutik Schleiermarcher dan modus interpretasi Ricoeur dan Dilthey. Dengan menggunakan model ini, analisis data berjalan dalam interaktif-dialek proses. Saat itu pengumpulan data yang terjadi peneliti juga melakukan reduksi data, data yang ditampilkan, interpretasi data, dan kesimpulan. Ketiga zat penelitian yang dipahami sesuai dengan tingkat semantik, reflektif, dan ada dari emukan para ahli budaya dari Kei .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat belas teks-teks cerita Larvul Ngabal memiliki karakteristik sebagai kisah endogeonic manusia, kosmogonik, dan cerita transformasional. Ketiga jenis cerita dimasukkan oleh tema keturunan dari Kei orang, perjalanan Sakmas Dit, pembentukan hukum, dan pemilihan Raja.

Makna cerita Larvul Ngabal menyatakan pandangan hidup Kei orang mengandung konsep mendalam dan gagasan tentang tindakan hidup yang berkaitan dengan manusia dan alam secara vertikal dan horizontal antara manusia dengan Tuhan, hubungan horizontal antara manusia dan manusia, dan harmoni melingkar hubungan antara manusia dan alam sebagai totalitas kehidupan sikap ditemukan dalam makna filosofi, makna religius, makna kosmologis, dan makna mistis.
Fungsi cerita Larvul Ngabal diarahkan ke fungsi sosiologis, fungsi pedagogis, dan fungsi yuridis. Fungsi sosiologis diimplementasikan sebagai alat bantu "verstehen" untuk menghindari beragam untuk tingkat penelitian, set penelitian, dan klarifikasi penelitian menekspresi faktor keturunan, ekspresi struktur sosial dari Kei masyarakat, dan bantuan untuk memperkenalkan sistem baru pemerintahan. Fungsi pedagogis dikonfirmasi cerita Larvul Ngabal sebagai pendidikan etika Model moral, instruksi perkembangan kehidupan, dan menginstruksikan bahasa simbolis. Sedangkan fungsi yuridis dari cerita Larvul Ngabal menjadi hukum, mengatur pernyataan masalah pidana atau kasus perdata.

Strategi pertahanan Ngabal Larvul diarahkan untuk beberapa hal, seperti: 1) cara pertahanan yang dilakukan melalui tiga cara sebagai berikut: (a) keluarga, (b) masyarakat, dan (c) cara pemerintah daerah. 2) Peran pertahanan yang terakumulasi dalam Kei kehidupan masyarakat melalui: (a) keberadaan Kei orang yang dilakukan melalui bahasa dan tindakan yang sama, struktur tradisional akomodatif pemerintahan, hubungan persaudaraan, bentuk-bentuk politik dari Kei masyarakat. (B) Menghadapi tantangan perubahan globalisasi mengakibatkan oleh: agama, pendidikan, ekonomi, sosial-budaya dan pengaruh politik.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa cerita Larvul Ngabal sebagai representasi budaya Kei orang karena menjadi esensi transendental, reflektif, dan pengalaman yang relevan dari orang yang berhubungan dengan kebudayaan manusia pada umumnya. Kisah Ngabal Larvul mampu bersatu, proyek, dan membenarkan pandangan kehidupan serta norma-norma tradisi Kei masyarakat.Konsep dasar memiliki pengaruh dominan dalam jangka pendek Kei orang saat ini. Temuan ini memiliki implikasi yang berharga cukup baik dalam aspek teoritis atau aspek praktis. Secara teoritis, studi Ngabal Larvul terlibat untuk disiplin sastra, interdicipliner sastra, dan antropologi. Secara praktis, temuan ini memanfaatkan Kei masyarakat untuk menangkap memegang budaya Kei untuk menjaga itu terjadi terutama cerita Larvul Ngabal.

Masyarakat Kei disarankan untuk memiliki dan menggunakan cerita untuk memperkaya pandangan masyarakat. Hal ini juga menyarankan para ilmuwan, dosen sastra, peneliti, guru kurikulum dimuat lokal di Kei wilayah, Institut Bahasa di daerah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk mendapatkan sumber daya memperdalam dan menggali ke dalam kesempurnaan penelitian ini.Pemerintah, yang tak kalah Daerah sebagai pengambil keputusan disarankan untuk menjalankan cerita dan ritual dari Ngabal Larvul lancar sebagai tujuan wisata budaya yang baik dalam mengembangkan daerah Kei ke masa depan terbaik.

BUNGA RAMPAI TANAH KEI MALUKU TENGGARA

Bungai Rampai : Tanah Kei-Maluku Tenggara 

Indonesia terdiri dari beraneka ragam pulau dan adat serta tradisinya. Di setiap pulau terdapat lebih dari satu versi adat dan budaya yang melekat pada diri dan kehidupan masyarakatnya. Biasanya adat dan tradisi itu melekat erat pada masyarakat yang menggunakannya. Menurut data sejarah tercatat bahwa peradaban dan kesadaran masyarakat mulai tambah dan berkembang pada era penyebaran agama-agama dan kebudayaan asing masuk di Indonesia. Namun tak dapat dipungkiri bahwa meskipun demikian oleh masyarakat Indonesia yang hidup kala itu sudah memiliki nilai dan norma hidup yang senantiasa dijunjung yang dapat mengantar kehidupan  berkelompok dan bermasyarakat (jaman pra-sejarah). Di sekitar abad 12 – 16 terjadilah penyebaran agama secara besar-besaran masuk ke negara kita. Penyebaran agama itu seperti agama Nasrani oleh pihak Kolonial Hindia Belanda, agama Islam oleh musafir Persia, agama Hindu dan Budha oleh pihak biksu dan India dan Kuta. Secara tidak langsung kehadiran agama ini juga dapat menularkan budaya dan tradisinya ke Indonesia,meskipun secara perlahan-lahan. Bagi masyarakat Kei hal yang sama pun dialaminya. Agama-gama mulai menyebar ke daratan Kei sekitar abad 15 dan 16, seiring dengan terjadinya migrasi besar-besaran dari berbagai pulau memasuki kepulauan Kei. Misalnya migrasi dari Luang dan Bali yang berhasil singgah di Kei dan selanjutnya menumbuh-kembangkan berbagai aturan hakiki yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum  daerah Kei “Hukum Larvul Ngabal”. Hukum Larvul Ngabal secara ringkas namun tegas dapat mengatur seluruh tatanan hidup masyarakat Kei dari berbagai dimensi kehidupan. Mulai dari dimensi kehidupan global, kematian, perkawinan agama, larangan dan sasi, pemerintahan dan lingkup-lingkup kehidupan masyarakat Ewav (Kei). 

PEMBAHASAN MASALAH 

Pengertian Adat Secara terminologis kata adat mengandung pengertian yang paling sakral dan agung pada lingkungan adat tertentu. Karena berbicara mengenai perkataan adat, maka secara langsung berbicara tentang budaya suatu daerah. Olehnya adat lahir dan ada dalam suatu masyarakat yang mempunyai tatanan nilai dan norma tertentu sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Ditinjau dari aspek terminologi itu maka adat di Kei mengandung pengertian sebagai berikut: Adat dalam pengertian “sopan santun”. Dengan kata lain juga berarti “tahu hormat” dan “baik budi pekerti”. Orang yang bertindak sembarangan akan disebut “tidak beradat” atau “biadab”. Adat dapat juga berarti “tata tertib”, “syarat’, peratuaran atau cara yang semuanya bertujuan mengatur kehidupan manusia menuju kedamaian dan kebahagiaan bersama. Dalam pengertian ini adat dipadukan dengan kata “istiadat” artinya berbagai tata tertib yang mengatur kehidupan manusia. Adat dapat dipakai dalam makna “sifat bawaan” yang terdapat pada diri seseorang. Dalam artian inilah adat sering disamakan dengan “kebiasaan”. Contoh, seseorang yang melakukan kesalahan biasanya disebut orang yang “tidak tahu adat”. Dari uraian di atas dapat ditarik pengertian adat sebagi suatu hukum kebiasaan yang oleh seluruh  wilayah kepulauan Kei (ewav) disebut secara jelas dan tegas sebagi hukum adat Larvul Ngabal. Walaupun sesuai realitanya belum ditulis hukum ini setara dengan peraturan daerah (perda) Maluku Tengggara. Namun secara berani harus diangkat asumsi bahwa hukum Larvul Ngabal merupakan suatu hukum positif di seluruh wilayah Kei. Sebab ada lembaga adat yang melaksanakannya dan kepada mereka yang terbukti salah atau melanggarnya, maka dikenakan sanksi atau hukuman tertentu pula. B. Falsafah Dasar Adat Kei Falsafah dasar adat Kei yang diuraikan di sini adalah berfungsi sebagai suatu ungkapan nasehat yang pada intinya mengatur hak dan kewajiban  masyarakat Ewav itu sendiri. Sekaligus juga ungkapan nasehat dimaksud memberikan arah dan pemahaman penting mengenai hukum Larvul Ngabal. Falsafah dasar adat Kei tersebut adalah sebagai berikut: Itdok fo ohoi, it mian fo nuhu, artinya kita mendiami kampung / desa dan makan dari alam atau tanahnya. Itdok it did kuwat dokwain itwivnon itdid mimiir / bemii, artinya kita menempati tempat kita dan tetap menjijit bagian kita. Itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat, artinya kita tetap memikul semua kepentingan kampung / desa kita dengan hukum adatnya. It wait teblo uban ruran, artinya kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan tegak lurus. Ikho hukum adat enfanganam enbatang haraang, artinya dengan demikian hukum adat akan menyayangi dan melindungi kita. Nit yamad ubadtaran nusid teod erhoverbatang fangnan, artinya leluhurpun ikut menjaga dan menyayangi kita. Duad enfangnan wak, artinya Allah pun melindungi kita. Dari ketuju bait tuturan nasehat di atas dapatlah disimpulkan bahwa kita mendiami suatu tempat / kampung atau desa di mana kita makan dan hidup dari tempat itu, menikmati hasilnya. Maka kita berkewajiban memikul dan melaksanakan , menataati aturan hukum dan adat secara jujur dan terus menerus. Dengan demikian barulah hukum adat, para leluhur dan Allah juga akan menyayangi, menjaga dan melindungi kita. C. Lembaga-Lembaga Adat di Kei Lembaga adat di seluruh wilayah kepulauan Kei, pada dasarnya tersusun berdasarka suatu wilayah adat dan pemukiman masyarakatnya. Ditinjau dari aspek hirarki teritorial maka lembaga adat di Kei terdiri dari: Ohoi yaitu, suatu pemukiman terkecil yang mendiami suatu tempat tertentu dan dilengkapi dengan pemerintahannya sendiri dan batas tanah tertentu. Contoh, Semua kampung (ohoi) yang ada di wilayah tanah adat Ewav (Kei). Utan yaitu, gabungan beberapa ohoi terdekat untuk suatu kepentingan  bersama yang lebih besar , (status desa dan dusun sekarang).  Contoh: Uat Tel Timur (Ohoitel, Ohoitahit, Watran);  Utan Tel Varat (Dullah      Darat dan sekitarnya) Vuar Tel di Kei Besar (mencakup Elrang, Reamru dan Yamtimur). Lor yaitu, gabungan beberapa Utan tertentu yang  setara dengan kecamatan saat ini, dan oleh pemerintah Kolonial Belanda menyebutnya Rat-Schaap. Berikutin adalah pembagian Lor  yang meliputi Rat-Schaap atau raja-raja sebagai berikut: Lor Siu (kelompok patasiwa) mencakup: Raja Danar Raja wain Raja Dullah Raja Ohoitahit Raja Ohoinangan Raja Yantel Raja Watlar Raja Somlain Raja Kilmas (Toyando) Lor Lim (kelompok patalima) mencakup: Raja Tabtut (Ohoivur di sebelah Barat Kei Kecil) Raja Rumat Raja Ver Raja Nerong Raja Ibra Raja Tual Raja Faan Raja Rumadian Raja Kelsoin (Toyando)   Pada tiap  Ohoi terdapatlembaga kepala kampung / dusun lengkap dengan kerapatan adat yang disebut seniri dusun dan para tetua adatnya. Pada tiap-tiap Uatan terdapat lembaga orang kaya (kepala desa), beberapa marga besar (soa) serta seniri desa dan para  tetua adatnya. Adapun pada tingkat Lor terdapat seorang raja, (kepala wilayah adat), himpunan marga besar (soa) dan seniri lengkap dengan para tetua adatnya. Di samping lembaga adat berdasarkan hirarki teritorial di atas, ada pula lebaga-lembaga adat lainnya, yakni: Utan enhov utan yakni, perhimpunan (seperti federasi) antara lembaga-lembaga adat beberapa desa dalam hal tertentu yang disepakati bersama. Lor enhov lor yakni, semacam lembaga konfederasi anatara beberapa raja dari wilayah adat besar (Lor Siuw Lor Lim) dalam berbagai hal khusus yang telahmendapat kesepakatan bersama. Manghoi Utin yakni, suatu lembaga adaat khusus berdasarkan hubungan darah atau keluarga yang bersifat sangat tertutup dan rahasia. Contoh Liat masalah perkawinan adat. Lembaga-lembaga adat ini memilki kompetensi besar dalam setiap persidangan adat baik ditingkat Ohoi, Utan maupun Lor. Juga dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat Ewav secara keseluruhan. Batas ‘Kata’ Dari keseluruhan uraian di atas, maka dapat dirangkum dalam suatu resume sebgai berikut:  Adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berisikan sopan santun, tata tertib dan larangan yang bertujuan memberikan pemahaman akan hak dan kewajinban warga masyarakat Kei demi mencapai kehidupan yang lebih aman dan teratur. Penyelenggaraan dan pengamanan norma dan aturan adat itu sepenuhnya diserahkan kepada lembaga-lembaga adat baik di tingkat Ohoi, Utan, maupun Lor serta konfedensi lembaga adat yang pada hakekatnya berkewajiban menjaga keutuhan dan kesakralan hukum adat Larvul Ngabal dan kehidupan masyaratan Ewav (Kei) dari “Adat fo mahiling, entub fo amnenat” (Adat diagungkan samapai selama-lamanya)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/yustinuswuarmanuk/hukum-larvul-ngabal-pedoman-hidup-bermasyarakat-orang-kei-maluku-tenggara_563979d38f7a617a0a001994

LEMBAGA HUKUM LARVUL NGABAL DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA

LEMBAGA HUKUM LARVUL NGABAL DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA
Oleh : ELYAKIM SNEKUBUN
PASKAH SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2013


BAB I

PENDAHULUAN

1.      Arti penting judul

Karya tulis ini di susun dengan judul “Sejarah Lembaga Hukum Adat Larvul Ngabal di Kabupaten Maluku Tenggara”. Hal yang mendasari penulisan dan pemilihan judul karya tulis ini adalah terutama untuk memenuhi tuntutan tugas kuliah, disamping itu juga merupakan keinginan penulis untuk mengangkat lembaga-lembaga hukum masa lalu secara khusus di Suku Kei Kabupaten Maluku Tenggara. Hal ini mengingat seiring perkembangan zaman dan perubahan masyarakat yang sangat pesat dan cepat terkadang “menenggelamkan” ingatan kita akan keberadaan lembaga-lembaga hukum masa lalu yang sebenarnya memiliki nilai-nilai yang sangat sesuai dan pantas untuk diterapkan dalam berbagai peraturan hukum dan norma umum yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat di Suku Kei  pada masa lampau telah mengenal lembaga-lembaga hukum yaitu Lembaga Hukum “Nevnev” yang mengatur tentang hak hidup manusia yang isinya juga mencakup lembaga hukum pidana yaitu dengan adanya aturan mengenai berbagai jenis tindakan kesalahan dan kejahatan mulai dari yang paling sederhana seperti menjelekkan/memfitnah orang lain sampai tindakan yang paling sadis seperti mengubur atau menenggelamkan orang dalam keadaan hidup-hidup. Selain itu, Lembaga Hukum “Hawear Balwirin” yaitu lembaga hukum yang mengatur hak atas milik yang didalamnya diatur mengenai larangan mencuri barang milik orang lain, mengenai upah yang diterima tanpa bekerja juga mengenai keserakaan. Kemudian lembaga hukum yang terakhir adalah Lembaga Hukum “Hanilit” yaitu lembaga hukum yang mengatur hak kehormatan dan martabat kaum wanita seperti larangan mendesis kepada wanita, mencubit dan menodai wanita.

Dengan demikian, dalam karya tulis ini akan dikaji mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam setiap lembaga hukum yang ada dan masih relevan pada masyarakat Suku Kei kemudian menemukan padanannya dengan peraturan positif yang ada saat ini dan pada akhirnya berusaha untuk  menjadikannya sebagai pedoman untuk pembentukan hukum di masa yang akan datang (ius constituendem).

2.      Kegunaan

Penulisan karya tulis ini dilakukan dengan harapan agar dapat berdaya guna bagi kemajuan ilmu pengetahuan secara khusus dalam bidang sejarah hukum yaitu dengan memperbanyak ulasan sejarah mengenai lembaga-lembaga hukum massa lalu dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam kesempatan ini yang akan dibahas adalah lembaga hukum di masyarakat Suku Kei di Kabupaten Maluku Tenggara. Selain itu, penulisan karya tulis ini diharapkan dapat memberikan penyegaran informasi kepada masyarakat mengenai lembaga-lembaga hukum di massa lalu sehingga dapat dijadikan bahan pembelajaran atau pedoman dalam menjalankan kegiatan hidup sehari-hari. Harapan besar juga dengan adanya karya tulis ini dapat memberikan ispirasi dan membentuk pola pikir yang baik bagi masyarakat pada umumnya dan secara khusus bagi pembentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Namun tentu semua harapan ini akan terlaksana dengan kerjasama dan niat yang tulus untuk belajar dari budaya dan adat masyarakat lainnya sehingga apa yang dibentuk untuk tujuan kebaikan bersama masyarakat berbangsa di Indonesia dapat benar-benar mengakomodasikan kepentingan bersama secara merata.


BAB II

PENGERTIAN SEJARAH, HUKUM DAN SEJARAH HUKUM

1.      Sejarah

Dalam bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, sejarah dinyatakan sebagai “history”. Asal katanya adalah “historiai” yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya hasil penelitian dan sering dipergunakan oleh Herodotus pada abad kelima Sebelum Masehi. Dalam bahasa Latin kata tersebut dikenal dengan sebutan “historis” kemudian istilah ini tersebar luas dan menjadi kata “historia” dalam bahasa Spanyol, “historie” dalam bahasa Belanda, “histoire” dalam bahasa Prancis, “storia” dalam bahasa Italia, “geschichte” dalam bahasa Jerman.[1]

Sejarah dapat diartikan sebagai riwayat dari kejadian-kejadian, yaitu suatu penyajian dari kejadian-kejadian tersebut. Selain itu sejarah juga dapat merupakan buku yang berisikan riwayat dari suatu bangsa, masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Sejarah juga merupakan penulisan secara sistematis dari gejala-gejala tertentu yang berpengaruh terhadap suatu bangsa, suatu lembaga ataupun kelompok sosial yang biasanya disertai dengan suatu penjelasan mengenai sebab-sebab timbulnya gejala-gejala tersebut. Pendeknya, sejarah adalah pencatatan yang bersifat deskriptif dan interpretatif, mengenai kejadian-kejadian yang dialami oleh manusia pada masa-masa lampau, yang ada hubungannya dengan masa kini.[2] Dalam karya tulis ini dibahas mengenai sejarah sebagai penulisan yang sistematis dari gejala-gejala sosial dalam masyarakat Suku Kei di Kabupaten Maluku Tengggara yang kemudian membentuk suatu sistem hukum yang disebut Hukum Larvul Ngabal. Hukum Larvul Ngabal sebagai lembaga hukum yang berlaku pada masa lampau tetap dipertahankan sampai saat ini dan telah menjadi pedoman hidup bermasyarakat selama ratusan tahun.

2.      Hukum

Dalam berbagai literatur ditemukan bahwa mengenai pengertian hukum sampai saat ini belum ada satu rumusan mengenai definisi hukum yang dapat memuaskan semua pihak. Berikut adalah beberapa pendapat para ahli hukum tentang definisi hukum :[3]

a.       Plato, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.

b.      Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.

c.       Austin, hukum adalah peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya.

d.      E.M. Meyers, hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman penguasa negara dalam melakukan tugasnya.

e.       Duguit, hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.

f.       Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang kemerdekaan.

g.      Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur dan melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.

h.      Van Apeldoorn, hukum adalah suatu gejala sosial ; tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek dari kebudayaan seperti agama, kesusilaan, adat istiadat, dan  kebiasaan.

i.        E. Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa.

j.        M.H. Tirtaamidjata, hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku dan tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan itu yang akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda, dan sebagainya.

k.      J. T. C Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada umumnya setiap sarjana hukum melihat hukum sebagai sejumlah peraturan, sebagai kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah tersebut.[4] Dengan demikian Hukum Larvul Ngabal juga merupakan bagian dari sistem hukum karena mencakup pengertian-pengertian yang disebutkan diatas.

3.      Sejarah hukum

Sejarah jika dihubungkan dengan hukum, dapat diterima bahwa hukum dewasa ini merupakan lanjutan  atau pertumbuhan dari hukum yang lampau, sedangkan hukum yang akan datang terbentuk dari hukum sekarang. Dengan demikian, sejarah hukum adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam satu atau beberapa masyarakat dan memperbandingkannya antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu.[5]

Segala sesuatu yang hidup senantiasa mengalami perubahan-perubahan, demikian juga halnya dengan hukum yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Dengan demikian hukum merupakan gejala sejarah, sehingga juga mempunyai sejarahnya ; artinya, hukum senantiasa berubah dan berkembang. Pengertian berkembang mempunyai arti-arti sebagai berikut (L.J. van Apeldoorn: 1966) :

1.      Ada perubahan,

2.      Ada stabilitas.

Jika dikatakan bahwa hukum itu berkembang, maka artinya adalah antara hukum yang berlaku kini dengan hukum masa lalu, terdapat suatu hubungan. Hukum masa kini merupakan kontinuitas dari hukum pada masa lampau. Hal ini berarti diadakan penelitian sejarah terhadap hukum pada masa lampau. Selain itu, hukum berubah, oleh karena hukum mempunyai hubungan timbal-balik dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Timbulnya, berubahnya, dan tidak berlakunya hukum berkaitan dengan faktor-faktor ekonomis, politis, agama, dan seterusnya.[6]


BAB III

SEJARAH HUKUM LAR VUL NGABAL DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA



1.      Deskripsi Lembaga Hukum Larvul Ngabal Di Kabupaten Maluku Tenggara

Hukum Adat Evav yang bernama Hukum Adat Larvul Ngabal, terdiri dari 2 bagian yakni Hukum Larvul dan Hukum Ngabal. Penjelasan kedua kata nama ini adalah sebagai berikut:[7]

a.        Hukum Larvul, LARVUL di ambil dari kata LAR artinya “Darah” dan kata Vul artinya “Merah”. Adapun kata nama LAR yang berarti Darah, berasal dari darah kerbau yang sudah disembeli pada hari dan saat Hukum dicanangkan di Ngudrinin/Elaar, dan hal tersebut menjadi bukti/meteray. Kiranya cukup kalau Hukum itu diberi nama : Hukum Lar yang artinya Hukum Darah, yang dengan sendirinya membangkitkan dalam hati/pikiran/ingatan akan warna darah itu Vul artinya Merah, yang memiliki arti simbolis: berani, agung dan aktif. Maka pikiran dan ingatan itu menjadi dasar, leluhur menimbang perlu kata nama warna VUL (Merah) itu diikut sertakan pada menyatakan keberanian, keagungan, keaktifan masyarakat dan juga agar enak di ucap dan di dengar. Hukum Larvul ini sudah menetapkan garis – garis besar peraturan Hukum dan Tata tertib yang wajib diikuti oleh semua masyarakat Evav guna keamanan, kebaikan, kerukunan hidup hingga lazimnya dikatakan “LARVUL ENTURAK” maksudnya Larvul menggariskan garis batas hukum. Masyarakat yang mencanangkan dan menganut Hukum Larvul artinya Darah Merah, disebut LOR SIU/URSIU, dengan lambangnya tersendiri.

b.      Hukum Ngabal, NGABAL di ambil dari kata NGA artinya “Tombak” dan BAL yang diambil dari singkatan Pulau BALI. Kata nama NGA  yang artinya Tombak dan Bal yang artinya Bali, berasal dari Tombak Sakti yang sudah dibawa dari Pulau Bali, lalu disandarkan pada satu pohon beringin di dekat Desa Lerohoilim. Maka ditempat itulah dicanangkan Hukum yang dinamai Hukum NGA atau Hukum Tombak, tetapi sebab tombak itu dibawa dari Pulau Bali oleh orang Bali, yang katanya turunan Dewa oleh orang yang sakti, oleh penyusun dan pencanang hukum, maka leluhur menimbang wajarlah nama asal Tombak diikutsertakan menjadi simbol bahwa hukum itu Tajam, hukum itu kuat, hukum itu agung, hokum itu sakti, hingga perlu sekali diberi nama: HUKUM NGABAL. Hukum ini menyaring garis – garis besar peraturan, Tata tertib itu lebih terperinci, supaya lebih dimiliki, gampang diikuti, senang ditaati oleh masyarakat. Dengan demikian, leluhur dalam kata – kata ungkapannya, menyebut NGABAL ENADUNG” artinya Hukum Ngabal yang menyaring. Masyarakat yang menganut Hukum Ngabal (Tombak dari Bali) desebut LORLIM dengan lambangnya tersendiri. Berikut isi hukum larvul Ngabal yang telah disistematiskan :[8]


BAGIAN I

P E M B U K A A N

1.      Rat nesno, umas enba : Raja bertitha, pengawal melaksanakan.

2.      Lem yau warsa, yau waro : Keputusan dan sanksi hanya atas dasar kebenaran dan    

      keadilan.

3.      Loor tel sa, yaing reng infit fatel : Perbuatan melanggar hukum secara konkrit diatur menurut Hukum Adat Larvul Ngabal khususnya dalam Hukum Nevnev, Hanilit dan Hawear Balwirin.

BAGIAN II.

ISI POKOK HUKUM LARVUL NGABAL

1.      HUKUM NEVNEV

Merupakan hukum yang mengatur hak hidup manusia, diatur dalam :

Pasal 1. Uud entauk atvunad : Kepala bertumpu pada tengkuk.

Pasal 2. Lelad ain fo mahaling : Leher dan keselamatan manusia harus dijunjung   

  tinggi.

Pasal 3. Ul nit envil atumud : Kulit membungkus tubuh kita.

Pasal 4. Laar nakmut naa ivud : Darah beredar tenang dalam tubuh.

2.      HUKUM HANILIT

Merupakan hukum yang mengatur hak kehormatan dan martabat kaum wanita, diatur dalam :

Pasal 5. Reek fo kelmutun : Ambang abu atau kesucian kaum wanita diluhurkan.

Pasal 6. Moryaian fo kelmutun : Kesucian rumah tangga dijujung tinggi.

3.      HUKUM HAWEAR BALWIRIN

Merupakan hukum yang mengatur hak atas milik, diatur dalam : 

Pasal 7. Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did: Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita.

BAGIAN III.

YAENG RENG ENFIT FATEL

I.     ISI HUKUM NEVNEV

( Yaeng Reng Enfit Hukum Nevnev ) : Pasal 1 -4

1.    Muur nar, suban fakla : Menjelekan/ memfitnah dan menyumpahi orang lain.

2.    Haung hebang : Mengancam dan merencanakan kejahatan terhadap orang lain.

3.    Rasung asmu, rudang dad : Meracuni dan tindakan black magic.

4.    Kev bangil : Menumbuk dan memukul orang lain.

5.    Tev-ahai, sung tawat : Merajam, menombak, menusuk dan menikam.

6.    Vedan na, tetat wanga : Membunuh, memotong-mencincang dan memancung orang

7.    Tewak-luduk fo wawain : Menguburkan atau menenggelamkan orang lain secara hidup-hidup.

( Jenis kesalahan atau kejahatan dari yang sedehana hingga yang paling sadis

II.  ISI HUKUM HANILIT

( yaeng reng enfit Hukum Hanilit ) pasal 5-6.

1.      Sis-sawar, tev laan hol : Mengganggu kaum wanita dengan cara mendesis, bersiul, melempar, mengikuti atau mengejar.

2.      Kifuk mat ko dedan mat ket : Menggangu kaum wanita dengan cara bermain mata, membuat kode pada malam hari.

3.      Ngis kafir temar uh mur : Mengganggu wanita dengan cara mencubit, mengorek atau norek dengan busur anak pana baik dari muka maupun dari balakang.

4.      Homak-woan, aa lebak : Mengganggu wanita dengan cara mencium, memeluk atau merangkul.

5.      Laa lee, walngutun tenan rattan, siran baraung: mengganggu dan menodai kehormatan kaum wanita dengan cara membuka pakaiannya dan mengajak berhubungan intim.

6.      Marvuan fo ivun taha ken taha sa : Menodai kaum wanita dengan cara menghamili baik yang tertangkap basah maupun yang tidak kedapatan.

7.      Manuu-marai naa met tahit tutu ne or wat roa: Membawa lari perempuan atau memperkosa perempuan di ujung pantai mau pun di hutan tepi pantai / tanjung.

III.   ISI HUKUM HAWEAR BALWIRIN

(yaeng reng enfit hukum Hawear Balwirin): pasal 7.

1.      It warjatad sa umat rir afa : Keserahkaan dalam mengambil hal milik orang lain.

2.      It bor tomat rir afa : Mencuri barang milik orang lain.

3.      It kulik afa borbor : Kita sengaja menyimpan barang curian.

4.      Taan rereang ne it dad afa waid : Mendapat upah tetapi tidak bekerja.

5.      It liik ken tomat rir afa , it tafen it nail: Menemukan milik orang lain dan tidak mau mengembalikanya.

6.      It lavur, uskom tomat rir afa : Kita mnerusak dan menghancurkan milik orang lain.

7.      It taha kuuk tomat rir rareang neblo : Kita menahan dan tidak mau memberikan upah orang lain dengan adil dan benar.

BAGIAN IV.

P E N U T U P

1.         Adat nabletang hormat : Ketaatan terhadap adat menyunyung tinggi kehormatan dan martabat manusia.

2.         Ntuuh suntub raam, fo enreek naa vuam yatam : Simpanlah Hukum Larvul Ngabal dalam lubuk hatimu dan menopang jantung hatimu.

3.         Taha fo vusin manan, nti ntut wahan enhaar naa soin: Kesetiaan malakukan Hukum Adat Larvul Ngabal dengan teguh sampai akhir hidup.


2.    Nilai-nilai Yang Terkandung Di dalam Lembaga Hukum Larvul Ngabal

Berdasarkan uraian lembaga hukum Larvul Ngabal di atas, maka dapat disimpulkan beberapa nilai yang terkandung didalamnya yaitu sebagai berikut :

a.       Dalam lembaga hukum hukum “Nevnev” yang mengatur tentang hak hidup manusia terdapat beberapa nilai yang penting seperti penghargaan terhadap tubuh manusia dari kepala hingga kaki, bahwasannya tubuh dan jiwa seseorang itu sangat berharga sehingga tidak dibenarkan adanya perbuatan sekecil apapun yang dapat melukai atau mematikan tubuh dan jiwa seseorang.  Oleh karena itu lembaga hukum ini mengatur larangan mengenai perbuatan jahat mulai dari perbuatan sederhana seperti menjelekkan/memfitnah orang lain sampai tindakan yang paling sadis seperti mengubur atau menenggelamkan orang dalam keadaan hidup-hidup.

b.      Dalam lembaga hukum “Hawear Balwirin” yaitu lembaga hukum yang mengatur hak atas milik yang didalamnya diatur mengenai larangan mencuri barang milik orang lain, mengenai upah yang diterima tanpa bekerja juga mengenai keserakaan. Nilai-nilai yang terdapat didalamnya yaitu adanya penghormatan atas hak milik orang lain sehingga tidak diperbolehkan mencuri atau menyimpan barang yang bukan milik sendiri. Nilai kejujuran dan keadilan juga ada didalamnya karena diharuskan jujur dan adil dalam hal pembagian upah yang menjadi hak pekerja.

c.       Dalam lembaga hukum “Hanilit” yaitu lembaga hukum yang mengatur hak kehormatan dan martabat kaum wanita seperti larangan mendesis kepada wanita, mencubit dan menodai wanita. Terdapat nilai-nilai seperti penghormatan terhadap hak dan martabat kaum wanita sehingga tindakan sekecil apapun yang dapat melukai perasaan atau disengaja untuk menggoda kaum wanita sangat tidak diperbolehkan. Nilai sopan santun juga terdapat dalam lembaga hukum ini, karena mengharuskan kaum laki-laki berperilaku yang sopan dan santun terhadap kaum wanita sebagai penghormatan terhadap ibu kita masing-masing.

Ketiga hukum tersebut mengajarkan nilai ketaatan dan kesetiaan yang teguh untuk menjalankan dan menyimpan Hukum Larvul Ngabal dalam hati masing-masing anggota masyarakat serta dijaga sampai akhir hidup. Sehingga kesadaran atas hukum yang ada semakin besar dan dipertahankan dalam berperilaku dan pergaulan sehari-hari masyarakatnya. Selain itu dalam pengambilan keputusan juga terdapat nilai luhur yaitu dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kebenaran dan keadilan sehingga keputusan yang diambil benar-benar dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakatnya.

Selain nilai-nilai yang terkandung di dalam Hukum Larvul Ngabal juga pada masa lampau telah dikenal adanya lembaga hukum pemerintahan yang disebut Rat yang artinya Raja/Kerajaan. Kemudian dalam kehidupan masyarakat juga ada dan dikenal pembagian status sosial/ strata sosial yang dinamakan kaum Mel-Mel yaitu kaum kerajaan/bangsawan atau penguasa, kaum Ren yaitu kaum kesatria atau prajurit perang dan yang paling rendah adalah kaum Iri yaitu kaum masyarakat awam. Ketiga jenis kaum ini dalam masyarakat Suku Kei sampai saat ini masih ada dan tetap diakui.


BAB IV

PEMBAHASAN

1.      Sejarah Hukum Sebagai Ilham Dari Lembaga Hukum Larvul Ngabal

Sejarah hukum sebagi ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang keadaan atau gejala-gejala sosial yang terjadi di masa lampau dan hubungannya di masa kini tentu sangatlah banyak manfaatnya  bagi Lembaga Hukum Larvul Ngabal terutama dalam hal penemuan hukum itu sendiri, peristiwa-peristiwa apa yang mengakibatkan suatu lembaga hukum itu terbentuk dan bagaimana masyarakat melestarikan dan menjalankan hukum tersebut. Dengan adanya ilmu pengetahuan sejarah hukum maka orang dapat mengkaji secara lebih mendalam dan sistematis suatu hukum tertentu dan bagaimana perkembangannya dalam kehidupan masyarakat tertentu pula. Dengan mempelajari sejarah hukum maka masyarakat dapat mengetahui budaya dan kearifan lokal yang ada beserta ciri khas dari masing-masing budaya tersebut. Selain itu, sejarah hukum juga memperkaya orang lain untuk mengetahui tentang sejarah dan budaya masyarakat lainnya sehingga pemahaman tentang keberagaman budaya, adat-istiadat dan suku dapat dijelaskan secara akademis.

2.      Padanan lembaga hukum larvul ngabal dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Lembaga Hukum Larvul Ngabal memiliki beberapa padanan dengan hukum positif dalam arti peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku di Indonesia yaitu :

a.       Mengenai hak asasi manusia yang ada dalam hukum “Nevnev” juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Jaminan hak hidup dalam hukum Nevnev sama dengan hak hidup dan hak atas rasa aman yang diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

b.      Mengenai hak milik dalam Pasal 7 hukum “Hawear Balwirin” menentukan bahwa Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did : Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah maka ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menjamin kepemilikan tanah oleh subyek hukum yaitu hanya orang atau badan hukum yang diakui yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.

3.      Ilham Lembaga Hukum Larvul Ngabal Sebagai Ius Constituendem.

Lembaga Hukum Larvul Ngabal secara umum telah mengatur tentang tiga hal yaitu penghormatan dan perlindungan atas hak asasi manusia, penghormatan terhadap hak asasi dan martabat kaum wanita  dan mengenai hak milik. Sebagai ilham ius constituendem maka Lembaga Hukum Larvul Ngabal dapat dijadikan acuan dan pedoman untuk penyusunan hukum yang akan berlaku di masa yang akan datang. Dalam hal ini Hukum Larvul Ngabal dapat memberikan contoh nilai-nilai luhur yang patut dicontoh dan terkandung di dalamnya seperti nilai kebenaran dan keadilan, nilai ketaatan dan kejujuran dari dalam hati, serta keseluruhan nilai tersebut harus tertanam dalam lubuk hati yang paling dalam dapat di wujudnyatakan di dalam kehidupan sehari-hari melalui sikap dan tingkah laku masyarakat yang menganut hukum tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Buku buku :

Soerjono Soekanto, 1979, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni, Bandung.

Ishaq, 2008, Dasar-dasar ilmu hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Website :

http://larvulngabal.blogspot.com/2011/08/pengertian-kata-nama-hukum-adat-larvul.html

http://philosofis.blogspot.com/2009/01/hukum-adat-kei-hukum-larvul-ngabal.html

[1] Soerjono Soekanto, 1979, Pengantar Sejarah Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 12
[2] Ibid, hlm. 13.
[3] Ishaq, 2008, Dasar-dasar ilmu hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2.
[4] Ibid, hlm. 3.
[5] Ibid, hlm. 235.
[6] Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 30.
[7] http://larvulngabal.blogspot.com/2011/08/pengertian-kata-nama-hukum-adat-larvul.html
[8] http://philosofis.blogspot.com/2009/01/hukum-adat-kei-hukum-larvul-ngabal.html

Keadilan Menurut Masyarakat Kei

Keadilan Menurut Masyarakat Kei

I. Latar belakang

Dalam setiap masyarakat, adat dipahami sebagai seperangkat nilai-nilai dan peraturan-peraturan sosial yang timbul dan tumbuh dari pengalaman hidup masyarakat tersebut.[1] Selama hidupnya, masyarakat itu mengalami aneka kejadian yang menggembirakan dan menyedihkan, serta yang memperkokoh dan merusak ketentraman. Pengalaman hidup masyarakat inilah yang menjadi sumber nilai-nilai adat. Oleh karena berpuluh-puluh  juta penghuni bumi Indonesia hidup dan bertempat tinggal di daerah masing-masing yang berbeda sifatnya, maka setiap golongan penduduk menciptakan tata-hidup yang sesuai dengan pengalaman dalam lingkungan alamnya. Atau dengan kata lain, setiap masyarakat mempunyai konsep tentang keadilan yang diterapkan secara internal.

Namun, setelah masyarakat tumbuh dan berkembang dalam hubungan antar warga, dan antara warga dan komunitas (masyarakat kecil), timbullah kekuatan-kekuatan sosial yang menguntungkan dan merugikan kehidupan bersama dalam komunitas itu. Dalam pemahaman seperti ini, Rawls kemudian mengemukakan, bahwa masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi mau bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, tetapi di sisi lain, masing-masing individu ini mempunyai pembawaan (modal dasar) serta hak yang berbeda, dan semua itu tidak bisa dilebur dalam kehidupan sosial.[2] Persoalannya, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan individu (modal dasar) itu di satu pihak, dan keinginan hidup bersama dipihak lainnya, agar terwujud kehidupan bersama yang berkeadilan?.

Jika mengikuti teori keadilan yang dikemukakan Rawls, maka setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan. Pertama, kebebasan yang sama atau setara (principle of equal libertiy), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama, antara lain, a) kebebasan politik, b) kebebasan berfikir, c) kebebasan dari tindakan sewenang-wenang, d) kebebasan personal, dan e) kebebasan untuk memiliki kekayaan.[3] Dan yang Kedua, prinsip ketidaksamaan (the principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut, 1) dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung, dan 2) melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.[4]

Berdasarkan dua prinsip keadilan menurut Rawls di atas, maka makalah ini akan mencoba menguraikan makna keadilan yang terkandung dalam Hukum Adat Larwul Ngabal[5] yang dianut oleh masyarakat Kei, Maluku Tenggara.

Gugusan kepulauan Kei, yang oleh penduduk setempat menyebutnya Nuhu Evav (Kepulauan Evav) atau Tanat Evav (Negeri Evav), adalah merupakan bagian administratif daerah kekuasaan Provinsi Maluku. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah kepala Burung, Irian Jaya (Papua), di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar. Kepulauan Kei terdiri dari beberapa pulau, diantaranya Kei Besar (Nuhu Yuut atau Nusteen), Kei Kecil (Nuhu Roa atau Nusyanat), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dulah (Du), Dulah Laut (Du Roa), Kuur, Taam, dan Tayandu (Tahayad). Selain itu, masih terdapat sejumlah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kei adalah 1438 km² (555 mil²)[6].

Secara umum, masyarakat Kei terklasifikasi dalam dua persekutuan adat, yakni, Lor Siw / Ur Siw (Siw Ifaak) dan Lor Lim (Lim Itel). Secara etimologis Lor berarti sekumpulan orang yang mendiami wilayah/Ratschap atau kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial, sedangkan Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 dan  5. Angka ini dipahami sebagai lambang institusi masing-masing persekutuan. Artinya kuantitas massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut[7]. Hukum adat Larvul Ngabal merupakan gabungan dari dua hukum adat, yaitu hukum Larvul yang ditetapkan di desa Elaar, Kei Kecil oleh sembilan Rat (raja) yang kemudian dikenal dengan nama Ur Siw, dan hukum adat Ngabal ditetapkan di desa Lerohoilim, Kei Besar oleh lima Rat (raja) yang kemudian bernama persekutuan Lor Lim. Selanjutnya, akibat proses penahklukan dan perluasan wilayah kekuasaan dari kedua persekutuan masyaraat adat ini, kemudian bersepakat untuk berdamai dengan menggabungkan kedua hukum adat tersebut menjadi Larvul Ngabal. Dalam perspektif Rawls, hal inilah yang saya pahami sebagai bagian dari posisi asali masyarakat Kei.

II. Terbentuknya Hukum Adat Larvul Ngabal

Berdasarkan sejarah lisan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Kei, diketahui bahwa sebelum Larvul Ngabal diberlakukan sebagai hukum adat yang berlaku umum untuk seluruh masyarakat Kei, di wilayah Kepulauan ini sudah berlaku satu hukum yang disebut Dolo. Hukum ini lebih menjurus kepada tindakan-tindakan yang tidak berperikemanusiaan, atau dapat dikatakan siapa yang kuat dialah yang menang – hukum rimba. Kehidupan masyarakat yang hampir “tanpa aturan” ini, kemudian diperbaharui dengan hadirnya para pendatang yang tiba dikepulauan Kei, setelah diterima oleh penduduk asli dan menjadi penguasa setempat, kemudian mengadakan pembaharuan-pembaharuan dan berhasil meletakan suatu hukum dasar yang kenal dengan hukum Larwul dan Ngabal.

Dengan demikian, hukum adat Larwul Ngabal, oleh masyarakat Kei dipahami sebagai warisan budaya dari para leluhur dan mengandung nilai-nilai yang mencerminkan ahlak dan martabat serta budaya yang tinggi dari masyarakat Kei. Karena itu, sebelum menguraikan makna dan fungsi dari hukum adat ini, perlu diuraikan sekilas tentang latar belakang sejarah terjadinya kedua hukum, yang kemudian menjadi satu tersebut.

2.1. Sekilas tentang terbentuknya Hukum Larvul

Terbentuknya hukum Larwul, bermula dari tibanya seorang musafir dengan keluarganya yang dalam tuturan sejarah lisan diyakini berasal dari Bali. Musafir tersebut bernama Kasdeu, yang mendarat di teluk Sorbay dibagian Barat pulau Kei Kecil. Kedatangan mereka diterima oleh masyarakat setempat. Kasdeu, kemudian kawin dan mempunyai emat orang anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Tabtut adalah putra sulung yang kemudian menjadi Rat/Raja di Ohoiwur, sedangkan anak perempuan bungsu bernama Ditsakmas. Putri bungsu ini kemudian kawin dengan seorang tokoh ternama dan pembuat perahu piawai yaitu, Arnuhu dari kampung (desa) Danar di ujung selatan bagian timur pulau Kei Kecil.

Dikisahkan bahwa perjalanan pertama Ditsakmas untuk menemui tunangannya Arnuhu di Danar, tidak berhasil, sebab semua barang perbekalannya dirampok dalam perjalanan, akibat masih berlakunya hukum “rimba” Dolo waktu itu. Akhirnya pada perjalanan kedua melalui desa Wain di pesisir timur bagian tengah pulau Kei Kecil, Ditsakmas akhinya menjumpai dan kawin dengan Arnuhu. Keberhasilan perjalanan kedua ini, dikarenakan ada bentuk larangan atau sasi yang digunakan oleh Ditsakmas, yakni ia mengikatkan daun kelapa putih[8] (janur) disetiap perbekalannya. Diantara barang-barang Ditsakmas dalam perjalanan tersebut, ada seekor kerbau yang dinamakan Kerbau Siw. Kerbau ini kemudian disembeli di desa Elaar Ngursoin, antara Wain dan Danar, yang dibagi-bagikan menjadi 9 bagian untuk perwakilan atau kampung (desa) yang hadir saat itu. Dalam pertemuan di Elaar Ngursoin inilah lahir kesepakatan yang kemudian menjadi diktum hukum Larwul (= darah merah), yakni pasal 1-4 hukum Larwul Ngabal yang ada pada masyarakat Kei saat ini.[9]

Kerbau yang disembeli tersebut dibagikan secara merata kepada 9 Rat/Hilaai (Raja) yang mewakili 9 kampung (dalam bahasa Kei kampung = ohoi), diantaranya : 1) Hilaai Danar mendapat bagian kepala, 2) Hilaai Ngursoin mendapat mata, 3) Hilaai Elaar mendapat gigi, 4) Hilaai Hoar Uun/Rahadat/Rahabav mendapat Ekor, 5) Hilaai Mastur mendapat Tanduk, 6) Hilaai Ohoinol mendapat Perut Besar, 7) Hilaai Ributat Yatvar mendapat Perut, 8) Hilaai Ohoider mendapat Empedu, dan 9) Hilaai Wain mendapat Hati[10]. Ungkapan adat yang diucapkan dalam proses pembagian itu ialah Larwul In Turak (larwul membakar), yang bermakna bahwa hukum Larwul akan digunakan untuk menjaga keamanan, ketertiban, menjamin harkat dan martabat manusia dan hak-hak asasinya. Menurut saya, dengan adanya pembagian seperti ini dapat ditemukan bagaimana masyarakat Kei pada waktu itu memaknai nilai keadilannya.

2.2. Sekilas tentang terbentuknya Hukum Ngabal

Asal mula perkembangan hukum Ngabal bermula dari mendaratnya saudara Kasdeu yang bernama Jangra dengan keluarganya di desa Lerohilim di pantai barat tengah pulau Kei Besar. Kehadiran Jangra di pulau Kei Besar segera tersiar disepanjang pesisir barat pulau Kei Besar sampai ke wilayah hukum raja Bomaf di Fer, ujung selatan pulau Kei Besar. Karena sudah mengetahui dari seorang penduduk desa Lerohoilim bahwa Kei Besar memiliki lima orang raja yang memimpin di wilayahnya masing-masing, dan yang paling berpengaruh pada saat itu adalah raja Bomaf dari desa Fer, maka Jangra mengutus putrinya yang bernama Ditsomar dengan temani oleh Wedifin (seorang penduduk desa Lerohoilim), untuk menemui raja Bomaf.

Perjalanan puteri Ditsomar ini membawa beberapa tombak (dari mas dan tembaga). Kehadiran Wedifin dengan puteri Ditsomar di Fer diterima oleh raja Bomaf dengan upacara adat, dan tombak-tombak itu ditaman/ditancapkan di Woma El Kel Bui yaitu pusat desa Fer. Woma adalah pusat desa biasanya dianggap sebagai tempat suci dan keramat[11], hanya upacara-upacara adat penting saja yang dilakukan oleh raja dan para Tua-tua Adat seperti pelanggaran hukum adat, pertikaian dan perang di Woma. Desa Fer dengan Woma-nya adalah satu-satunya desa yang ditanami dengan tombak yang dibawa Jangra dari Bali, dan tombak ini disebut dengan nama Ngabal yang artinya “Tombak dan Bali”[12] dan tombak tersebut kemudian dijadikan lambang hukum adat di wilayah Hilaai/raja Bomaf.

Atas dasar itu, raja Bomaf kemudian mengambil prakarsa dengan mengundang keempat raja lainnya untuk melakukan pertemuan di desa Lerohoilim. Undangan itu disambut baik, karena mungkin sudah muncul kesadaran untuk mengakhiri hukum Dolo. Pertemuan akbar di desa Lerohoilim itu bertujuan membahas kedatangan Jangra dan kesaktian dari tombak yang dibawanya. Selain itu, pertemuan tersebut berhasil menyepakati tiga dasar hukum yang disebut dengan hukum Ngabal, yang nantinya menjadi pasal 5-7 dari hukum adat Larwul Ngabal. Sebagai lambang untuk meterai yang mengesahkan hukum Ngabal ini, disetujui Tombak Ngabal yang kemudian sekaligus lambang bagi persekutuan masyarakat adat Lorlim.

Untuk penyebaran dan pemberlakuan hukum adat Ngabal, maka sekaligus diadakan pembagian tugas dan wewenang kepada masing-masing Hilaai di wilayah Lorlim Kei Besar, yang dilambangkan dengan pembagian bagian-bagian tubuh seekor ikan paus atau naga laut[13], yang kebetulan terdampar di pantai desa Lerohoilim pada saat itu. Pembagian ini mirip dengan proses pembagian Kerbau Siw yang dilakukan di desa Elaar Ngursoin, Kei Kecil. Diantaranta: 1) Hilaai Bomaf dari Fer mendapat kepala, 2) Hilaai Hibes dari Nerong (Lo Ohoitel) mendapat perut, 3) Hilaai Ub Ohoifak dari Uwat-Mar mendapat ekor, 4) Hilaai Loon Lair dari Weduar-Tutrean mendapat sayap, dan 5) Hilaai Meljamfak dari Rahangiar mendapat gigi.[14] Konsensus dalam pembagian seperti ini, menurut saya menunjukan sebuah kesadaran yang tinggi akan sebuah nilai keadilan.

Hukum adat Ngabal mengandung makna yang berupa perumpamaan dan kiasan, nasihat dan petunjuk. Selain itu berfungsi untuk melindungi hak-hak asasi, yang lazim disebut Ngabal In Adung. Kata-kata inilah yang diucapkan pada saat proses pembagian tubuh dari naga laut/ikan paus itu. Ngabal In Adung bermakna “Tombak sebagai pengatur dan pelindung”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Larwul In Turak yang menjaga keamanan, ketertiban, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjaga dan menghormati hak-hak asasi, berfungsi sebagai membatasi kewenangan-kewenangan, dan perpaduannya dengan Ngabal In Adung yang berisi nasihat dan petunjuk, yang kemudian berfungsi sebagai pengatur dan pelindung bagi hak-hak dasar dari setiap individu yang diatur dalam hukum Larwul.

Dengan penjelasan seperti ini, kita dapat menemukan benang merah dari dua prinsip keadilan yang dikemukakan oleh Rawls, yakni: Pertama, Setiap orang memiliki sebesar-besarnya kesederajatan hak dan kebebasan sejauh yang diatur dalam sistem kesederajatan kebebasan dasar untuk semua; dan prinsip Kedua, Ketidak-sederajatan sosial ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga: (a) bermanfaat sebesar-besarnya bagi warga masyarakat yang paling kurang beruntung, konsisten dengan prinsip menabung yang adil, (b) dikaitkan dengan jabatan dan posisi yang terbuka untuk semua berdasarkan syarat semua memiliki kesempatan yang adil. Relevansi pemikiran Rawls dengan kedua hukum adat di atas adalah bahwa prinsip keadilan pertama, menurut saya, adalah sejalan dengan hukum adat Larwul dengan prinsip Lar In Turak, sedangkan prinsip keadilan kedua adalah juga sejalan dengan hukum adat Ngabal dengan prinsipnya Ngabal In Adung.

Untuk memperjelas bagaimana konsep keadilan yang ada dalam kedua hukum adat masyarakat Kei ini, maka di bawah ini akan duraikan bagamana makna, fungsi dan peran dari kedua hukum adat yang digabungkan menjadi satu kesatuan yang telah diterima oleh seluruh masyarakat Kei dan yang masih berlaku sampai sekarang. Hal ini dilakukan untuk lebih mengelaborasi konsep keadilan menurut masyarakat Kei, dan bagaimana kaitannya dengan prinsip keadilan menurut Rawls.

III. Nilai Perekat Masyarakat Kei: Hukum Larwul Ngabal dan Konsep Keadilannya.

Dengan memahami kedudukan dua persekutuan masyarakat adat yang telah diuraikan di atas, dapat dilihat sisi persamaan dan perbedaannya. Perbedaan diakibatka karena keduanya saling mempertahankan status quo, menjadi ‘raja-raja kecil’ yang tetap mempertahankan identitas komunal. Identitas komunal tidak hanya merupakan sesuatu yang penting, melainkan juga menentukan kepatuhan atau loyalitas masyarakat kepada raja-raja kecilnya, yang seolah kodrati, merupakan sesuatu yang terberi, tanpa perlu campur tangan manusia.[15] Dengan demikian ada semacam paksaan untuk menerima ikatan kekuasaan yang cenderung absolut, dan ditopang kekerasan sekaligus menuntut kepatuhan dari mereka yang terpenjara rasa takut.[16] Sedangkan pada sisi persamaan, kedua persekutuan masyarakat adat ini dipayungi oleh hukum adat Larvul Ngabal, dan dalam interaksi sosialnya, hanya mengenal satu identitas bahasa yakni, bahasa Kei (Veve Evav).

Darah merah melambangkan bahwa Hukum Larvul itu perasaan- atau pikiran sehati yang berani, agung dan gerak masyarakat. Dan tombak Bali itu adalah lambang, bahwa Hukum Ngabal itu berpijak, tajam, kuat, agung dan sakral. Dengan demikian, terdapat peri-bahasa menyatakan:“Larvul inturak, Ngabal inadung”. Artinya Larvul menetapkan secara umum dasar-dasar hukum adat, dan hukum Ngabal lebih mempertegas kekuatan Hukum adat.

Secara keseluruhan hukum adat ini terdiri dari 7 pasal[17], yakni:

Pasal 1. Uud entauk atvunad:  berarti “kepala bersatu, bertumpu di atas pundak” artiya dimana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad[18] atau yang Mahakuasa; para leluhur (moyang-moyang); dan tokoh-tokoh adat, pemerintah dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/persatuan dan harmoni dalam masyarakat dapat dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan sebagai anggota tubuh.

Tugas perlindungan mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan ungkapan peri-bahasa Kei, yang dalam dasar sifat hidup orang Kei dinyatakan : Sob Duad, taflur (flurut) Nit, fo hoar towlai, artinya “kita meminta berkat dengan berdoa kepadaTuhan, dan kita saling hormat-menghormati dengan mengingat pesan-pesan leluhur supaya kita berselamat di dunia dan akhirat.”

Pasal 2. Lelad ain fo mahiling: berarti:”Leher bersifat luhur, suci dan murni” pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei danggap sebagai pusat hidup dan kehidupan yang bernafas, dan yang harus dilindungi atau dijaga.

Pasal 3. Ul nit envil rumud : berarti “kulit membungkus tubuh kita”, ungkapan ini memiliki dua arti, yakni pertama, harkat dan martabat manusia harus dilindngi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan merahasiakan sesuatu tentang orang lain dan diri sendiri.

Pasal 4. Laar nakmut naa ivud : berarti “darah beredar atau terkurung di dalam tubuh” makna dari pasal ini adalah penghargaan terhadap kehidupan, karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang dapat mengakibatkan keluarnya darah dari dalam tubuh.

Pasal 5. Reek fo kelmutun : berarti, “ambang kamar atau kesucian kaum wanita diluhurkan”  ungkapan ini memiliki dua arti, yakni, pertama, bahwa kamar tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua, perempuan juga dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang wanita dengan cara ‘bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya’.

Pasal 6. Moryaian fo mahiling : “tempat tidur orang yang sudah berumah tangga dan juga wanita bujang (gadis) adalah agung mulia” hal ini juga berkaitan dengan pasal 5. Bahwa orang lain tidak boleh menggunakan atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis. Dan,

Pasal 7. Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did: Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai bukti atau ada sejarah (argumentasi) yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut.

Dapat dikatakan bahwa mekanisme lebih lanjut atau aturan pelaksana dari Hukum Adat Larwul Ngabal seperti yang telah diuraikan di atas, dielaborasi lagi ke dalam 3 (tiga) bentuk hukum adat Kei yakni Hukum Nevnev; Hukum Hanilit, dan Hukum Hawear Balwarin. Ketiga hukum adat ini masing-masing terdiri dari 7 pasal. Bila dipilahkan pasal-pasal dari hukum Larvul Ngabal ke dalam ketiga hukum ini, maka pasal 1-4 adalah hukum Nevnev, atau hukum peri-kemanusiaan, penghargaan terhadap kemanusiaan; pasal 5-6 adalah hukum Hanilit, atau hukum susila/perilaku, penghargaan terhadap perempuan; dan pasal 7 adalah hukum Hawear Balwarin atau hukum keadilan sosial[19].

Terdapat beberapa prinsip dan sikap hidup orang,[20] yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama,Sikap rela menolong, istilah yang dipakai untuk menjelaskan sikap hidup orang Kei ini ialah maren atau hamaren. Maren berarti bekerja bersama-sama. Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa undangan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah (termasuk gereja atau masjid), pesta perkawinan atau kematian. Semua orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Jadi ada semacam kerelaan dari setiap orang untuk membantu sesama demi kekerabatan yang telah terjalin. Sikap rela menolong ini pada dasarnya dilakukan demi kelestarian hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, ada perasaan wajib untuk menolong sesama.

Kedua, Sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain, dia sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha dan pekerjaannya. Ketiga, Sikap hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan diseluruh daerah. Atasan menurut pandangan orang Kei adalah orang yang dapat mempersatukan suatu kelompok kekerabatan. Dia memiliki kekuasaan dan merupakan representasi hukum yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih merupakan unsure transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh karena itu, kedudukannya ia dihormati dan ditaati.[21] Dan, keempat, Sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kata terima kasih berarti “tet ya”. Istilah ini memiliki makna yang sangat mendalam, artinya “karena kebaikanmu, engkau  saya tempatkan dalam lubuk hati agar engkau dekat dengan saya”. Jadi hakikat dari ucapan terima kasih orang Kei adalah kebaikan orang lain perlu dibalas dengan sikap yang mengeratkan hubungan sosial.

Dalam interaksi kehidupan sehari-hari, terdapat tiga nilai perekat, yakni (1), falsafah ain ni ani yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; (2), falsafah foing fo kut fauw fo banglu. Nilai foing fo kut ini bermakan menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi kehidupan, sedangkan fauw fo banglu, bermakna kemampuan menciptakan “peluru” untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi serangan[22]; dan (3), filosofi wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur, yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal dari satu keturunan.[23]

Filosofi antara ikan dan ayam dapat memberi makna bawa sekalipun orang kei itu dikelompokan kedalam berbagai kelompok. Baik dikelompokan karena kepentingan kekuasaan dan kewilayahan, maupun dikelompokan karena kepentingan strata, akan tetapi mereka satu dalam suatu kekuatan ibarat ikan di laut yang mengandalkan kekuatan insang untuk bernafas dan secara leluasa dapat berktifitas, karena pada hakekatnya, apapun jenis ikan, tentu ia bukan sendirian, tetapi pasti berasal dari komunitas ikan tertentu. Bahkan ikan yang berasal dari komunitas yang kecil sekalipun, tapi mampu beradaptasi dengan ikan-ikan lain di sekelilingnya. Ini sebagai pertanda bahwa, orang Kei itu mudah bersatu dengan orang lain dengan modal kepercayaan dirinya yang tinggi. Serta ayam bertelur sebagai lambang tidak punahnya masyarakat di kepulauan kei dengan cikal bakal melahirkan keturunan, untuk mewarisi semua kesepakatan leluhur yang tertuang dalam Hukum Adat Tertinggi Larvul Ngabal.

Ketiga falsafah perekat hidup bagi masyarakat Kei itu, di dalamnya mengandung nilai keadilan, yang berasaskan pada persaudaraan (ain ni ain). Dengan demikian keadilan menurut budaya Kei adalah “pengakuan teradap kepemilikan orang lain, sejauh kepemilikan itu dapat dibuktikan dengan Toom Tad (bukti sejarah)” yang bersandar pada bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, (foing fo kut fauw fo banglu), sebab semua orang Kei adalah wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur.

IV. Penutup

Dua istilah teknis yang dipakai Rawls, yaitu efisiensi dan perbedaan. Prinsip efisiensi dapat dipenuhi jika sistem ekonomi yang membawa keuntungan pada sekelompok orang tidak merugikan pada pihak lain. Artinya, konsumsi produksi, pembagian sarana produksi dan seterusnya diperuntukan kepada pihak yang kurang beruntung, dan akan dianggap efisien jika hal itu tidak merugikan pihak lainnya. Jika pembagian tersebut hanya menguntungkan suatu pihak dan ternyata kemudian justru merugikan pihak lainnya, berarti tidak efisien.[24] Bandingkan pemikiran Rawls ini dengan pasal 7 hukum Larwul Ngabal.

Adapun prinsip perbedaan dimaksudkan Rawls sebagai batasan untuk mengendalikan ketidakpastian dari prinsip efisiensi. Sebab, menurut Rawls, prinsip efisiensi di atas masih dapat bersifat sewenang-wenang jika hanya diberikan syarat yang samar, “tidak merugikan pihak lain”. Karena itu, di sini harus ada batasan lebih lanjut, yaitu prinsip perbedaan. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang berada dalam pososi yang menguntungkan harus ikut berperan aktif dalam memperbaiki kondisi mereka yang kurang beruntung. Perbaikan kondisi ini berupa pengadaan prospek yang sama untuk meraih kedudukan dan fungsinya di mana pembagian sarana sosial ekonomi tersebut dikaitkan.[25] Artinya, kegiatan masyarakat yang diasumsikan memenuhi tuntutan kebebasan yang sama (prinsip I) dan tuntutan kesamaan kesempatan yang fair (prinsip II) hanya akan dianggap adil jika perolehan sarana sosial ekonomi yang diterima pihak yang menguntungkan dipergunakan untuk memperbaiki kondisi pihak-pihak yang kurang beruntung. Bandingkan bagian pemikiran Rawls ini  dengan pasal pasal 1-4 dari hukum adat Larwul, serta pasal 5-7 dari hukum Ngabal.

Secara keseluruhan dua prinsip keadilan dari Rawls, adalah hampir sama atau mirip dengan prinsip keadilan yang ada dalam hukum Larwul Ngabal pada masyarakat Kei. Dalam hukum adat Larwul Ngabal, juga terdapar dua prinsip yang mendasari keseluruan pasalnya yakni, prinsip Larwul In Turak yang bermakna penghormatan dan penghargaan terhadap individu, berikut hak-hak asasinya, dan prinsip Ngabal In Adung, yang bermakna pemberian nasihat atau petuntuk sebagai pengatur dan pelindung, bagi setiap individu, kelompok dan komunitas masyarakat Kei, demi terwujutnya harmoni dalam masyarakat.

Akhirnya sebuah syair tua yang didaulat sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Kei saya ketengahkan disini, sebagai bagian dari falsafah hidup, sampai dengan pola pembagian lahan untuk kawasan darat maupun kawasan laut, yakni: :batatang nuhu met, fitroa fitnangan, vuut er is waar, medar er sai roan, kulwai ukadir rir wai dok tub”[26] (kita menjaga tanah dan pantai, laut dan darat, ikan-ikan mematuk akar, kuskus memakan dedaunan, tempat kediaman ulat dan cacing). Syair ini memberi gambaran yang jelas bahwa manusia dan alam beserta segenap isi kandungannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perkataan fitroa fitnangan (tujuh di laut, tujuh di darat) berarti sudah mencakup keseluruhan yang ada di laut maupun di darat. Bahkan lebih ditegaskan lagi bahwa ulat dan cacing sekalipun, mempunyai hak untuk hidup di tempat keberadaannya. Manusia dan alamnya hidup untuk saling menghidupi.

itulah makna keadilan menurut masyarakat Kei yang terpancar dari hukum adatnya.

DARTAR PUSTAKA

Haar, Ter B., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953)

Hartinigsih, Maria, Negeri yang Menjauhi Cita-Cita, (Kompas, 13 Maret 2009)

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990)

Kilmanun, I.J., Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan)

Laksono, P.M,  The Common Ground in the Kei Islands, (Yokyakarta: Galang Press, 2002)

___________, Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, (The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990).

Messakh, A.Thobias,  Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW, 2007)

Ngabalin, Marthinus, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait, (Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006.tidak diterbitkan)

Ohoitimur, Yohanis, Beberapa sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, Tesis, Sekolah Tinggi Seminari Pineleg, (Manado: tidak diterbitkan, 1983)

Pattikayhatu, J. A., dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993)

Rawls, John. Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

Rawls, John,  A Teori of Justice, (Harvard, Belknap Press, 1997)

___________, “A Theory of Justice” dalam Reason and Responsibility, Joel Fainberg (ed), (California, Belmont, 1978)

Rahail, J. P., Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993)

Rahayaan, Afia Maria, (Skripsi), Perempuan Dan Adat: Tinjauan Terhadap Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Hukum Larvul Ngabal di Masyarakat Kei, (Salatiga:Fakultas Toelogi UKSW, 2008. Tidak Diterbitkan)

Sen, Amartya, Kekerasan dan Ilusi Identitas, (Serpong-Tangerang: Marjin Kiri, 2006)

Daftar dari Internet:

http://evavcrew.blogspot.com/2008/12/kerifan-masyarakat-evav-dalam-menjaga.html,

http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Kai#Sejarah.

http://rahanrejau.mysites.nl/mypages/rahanrejau/458929.htmldiundu.

[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990)

[2] John Rawls, A Teori of Justice, (Harvard, Belknap Press, 1997), 11.

[3] Ibid, 61. Lihat juga Rawls, “A Theory of Justice” dalam Reason and Responsibility, Joel Fainberg (ed), (California, Belmont, 1978), 550. Sedangkan dalam Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Satya Wacana University Press – Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW, 2007), 58, Kebutuhan dasar manusia itu, adalah 1) hak-hak atas kebebasan dasar (seperti, kebebasan berpikir, dan kebebasan nurani); 2) kebebasan bergerak dan kebebasan memilih pekerjaan; 3) kekuasaan dan hak-hak prerogatif yang bertanggung-jawab; 4) pendapatan dan kekayaan; dan 5) basis harga diri.

[4] Rawls, Theori of Justice, 14-15. Tentang tekstualisasi dari kedua prinsip ini, secara utuh lihat, Ibid, 60. Lihat juga uraian yang lebih lengkap dalam Thobias Messakh, Ibid. 58-65.

[5] Secara etimologi, Larvul Ngabal berasal dari kata Lar yang berarti Darah;  Wul yang artinya Merah; Nga yang berarti Tombak; Bal yang berarti  Bali. Jadi Larwul Ngabal artinya “Darah Merah” (yang mengalir dari tubuh sapi yang dibantai dengan tombak dari Bali), J. P. Rahail, Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993), 13

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Kai#Sejarah. Diunduh 17 Desember 2009. Lihat juga, Yohanis Ohoitimur, Beberapa sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, Tesis, Sekolah Tinggi Seminari Pineleg, (Manado: tidak diterbitkan, 1983), 8.

[7] J. A. Pattikayhatu, dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), 16; sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan fator geneologis dan faktor teritorial, dapat dibaca dalam B. Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953), 16

[8] Dalam masyarakat Kei saat ini, daun kelapa putih atau pucuk daun/tombak kelapa (janur) digunakan sebagi symbol sasi atau larangan. Jika janur ini diikatkan atau digantungkan pada sesuatu benda maka maknanya adalah benda tersebut tidak boleh diambil oleh orang lain.

[9] Lihat J. P. Rahail, Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993), 1-4

[10] Lihat J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 44

[11] Lihat P.M,  Laksono, The Common Ground in the Kei Islands, (Yokyakarta: Galang Press, 2002)

[12] Lihat J. A. Pattikayhatu, Ibid. 47

[13] Nang Lor Lim Yut atau Naga/Ikan Paus Lorlim, Kei Besar, dan Tombak Ngabal adalah merupakan lambang dari kelompok/persekutuan adat Lorlim

[14] Lihat J. A. Pattikayhatu, Ibid. 48-49

[15] Bandingkan Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi Identitas, (Serpong-Tangerang: Marjin Kiri, 2006), 7-9. Dalam konteks ini, bagi saya, nilai keadilan yang ditawarkan itu masih bersifat keadilan dalam bentuk yang feodal, dan hal itu bertentangan dengan keadilan yang demokratis. Namun makalah ini saya tidak bermaksud untuk menguraikan konsep keadilan yang demokratis itu dari teori modern, tetapi lebih melihat keadilan yang demokratis itu dengan menggunakan paradigma budaya setempat. Artinya apa yang menurut mereka adil, bukan apa yang menurut saya adil. Walaupun pada akhirnya saya akan memberikan pertimbangan terhadap keadilan itu.

[16] Lihat uraian Maria Hartinigsih, Negeri yang Menjauhi Cita-Cita, (Kompas, 13 Maret 2009)

[17] http://rahanrejau.mysites.nl/mypages/rahanrejau/458929.htmldiundu. diundu 17 juli 2009. lihat Uaian lengkapnya dalam  J. A. Pattikayhatu , Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 51-58. Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), 51-56.

[18] Duad adalah sebutan Tuhan bagi masyarakat Kei. Tuhannya orang Kei sudah diteliti dan dapat dibaca dalam, Marthinus Ngabalin, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait, (Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006.tidak diterbitkan)

[19] lihat uraian lengkap pasal-pasal dari ketiga hukum tersebut, dalam  J. A. Pattikayhatu , Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 56-58. Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), 51-56.

[20] Lihat Yong Ohoitimur, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996)

[21] Bandingkan dengan konsep kekuasaan Jawa dalam Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. (Ithaca , N. Y : Cornell University Press, 1972), 25-27; lihat juga Syahbudin M. Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000), 11

[22] Peluru tidak bermakna modern, namun lebih pada pengrtian tradisional yang mungkin dimaknai dalam bentuk mistis. Karena itu menurut penulis,  foing fokut fauw fo banglu, dapat juga dimaknai sebagai “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”

[23]Lihat uraian lengkapnya dalam  P M. Laksono, Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990.

[24] Rawls, A Theory of Justice, 67

[25] Ibid. 75

[26] http://evavcrew.blogspot.com/2008/12/kerifan-masyarakat-evav-dalam-menjaga.html, diundu 17 juli 2009.