Thursday, July 28, 2016

BUNGA RAMPAI TANAH KEI MALUKU TENGGARA

Bungai Rampai : Tanah Kei-Maluku Tenggara 

Indonesia terdiri dari beraneka ragam pulau dan adat serta tradisinya. Di setiap pulau terdapat lebih dari satu versi adat dan budaya yang melekat pada diri dan kehidupan masyarakatnya. Biasanya adat dan tradisi itu melekat erat pada masyarakat yang menggunakannya. Menurut data sejarah tercatat bahwa peradaban dan kesadaran masyarakat mulai tambah dan berkembang pada era penyebaran agama-agama dan kebudayaan asing masuk di Indonesia. Namun tak dapat dipungkiri bahwa meskipun demikian oleh masyarakat Indonesia yang hidup kala itu sudah memiliki nilai dan norma hidup yang senantiasa dijunjung yang dapat mengantar kehidupan  berkelompok dan bermasyarakat (jaman pra-sejarah). Di sekitar abad 12 – 16 terjadilah penyebaran agama secara besar-besaran masuk ke negara kita. Penyebaran agama itu seperti agama Nasrani oleh pihak Kolonial Hindia Belanda, agama Islam oleh musafir Persia, agama Hindu dan Budha oleh pihak biksu dan India dan Kuta. Secara tidak langsung kehadiran agama ini juga dapat menularkan budaya dan tradisinya ke Indonesia,meskipun secara perlahan-lahan. Bagi masyarakat Kei hal yang sama pun dialaminya. Agama-gama mulai menyebar ke daratan Kei sekitar abad 15 dan 16, seiring dengan terjadinya migrasi besar-besaran dari berbagai pulau memasuki kepulauan Kei. Misalnya migrasi dari Luang dan Bali yang berhasil singgah di Kei dan selanjutnya menumbuh-kembangkan berbagai aturan hakiki yang menjadi cikal bakal lahirnya hukum  daerah Kei “Hukum Larvul Ngabal”. Hukum Larvul Ngabal secara ringkas namun tegas dapat mengatur seluruh tatanan hidup masyarakat Kei dari berbagai dimensi kehidupan. Mulai dari dimensi kehidupan global, kematian, perkawinan agama, larangan dan sasi, pemerintahan dan lingkup-lingkup kehidupan masyarakat Ewav (Kei). 

PEMBAHASAN MASALAH 

Pengertian Adat Secara terminologis kata adat mengandung pengertian yang paling sakral dan agung pada lingkungan adat tertentu. Karena berbicara mengenai perkataan adat, maka secara langsung berbicara tentang budaya suatu daerah. Olehnya adat lahir dan ada dalam suatu masyarakat yang mempunyai tatanan nilai dan norma tertentu sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Ditinjau dari aspek terminologi itu maka adat di Kei mengandung pengertian sebagai berikut: Adat dalam pengertian “sopan santun”. Dengan kata lain juga berarti “tahu hormat” dan “baik budi pekerti”. Orang yang bertindak sembarangan akan disebut “tidak beradat” atau “biadab”. Adat dapat juga berarti “tata tertib”, “syarat’, peratuaran atau cara yang semuanya bertujuan mengatur kehidupan manusia menuju kedamaian dan kebahagiaan bersama. Dalam pengertian ini adat dipadukan dengan kata “istiadat” artinya berbagai tata tertib yang mengatur kehidupan manusia. Adat dapat dipakai dalam makna “sifat bawaan” yang terdapat pada diri seseorang. Dalam artian inilah adat sering disamakan dengan “kebiasaan”. Contoh, seseorang yang melakukan kesalahan biasanya disebut orang yang “tidak tahu adat”. Dari uraian di atas dapat ditarik pengertian adat sebagi suatu hukum kebiasaan yang oleh seluruh  wilayah kepulauan Kei (ewav) disebut secara jelas dan tegas sebagi hukum adat Larvul Ngabal. Walaupun sesuai realitanya belum ditulis hukum ini setara dengan peraturan daerah (perda) Maluku Tengggara. Namun secara berani harus diangkat asumsi bahwa hukum Larvul Ngabal merupakan suatu hukum positif di seluruh wilayah Kei. Sebab ada lembaga adat yang melaksanakannya dan kepada mereka yang terbukti salah atau melanggarnya, maka dikenakan sanksi atau hukuman tertentu pula. B. Falsafah Dasar Adat Kei Falsafah dasar adat Kei yang diuraikan di sini adalah berfungsi sebagai suatu ungkapan nasehat yang pada intinya mengatur hak dan kewajiban  masyarakat Ewav itu sendiri. Sekaligus juga ungkapan nasehat dimaksud memberikan arah dan pemahaman penting mengenai hukum Larvul Ngabal. Falsafah dasar adat Kei tersebut adalah sebagai berikut: Itdok fo ohoi, it mian fo nuhu, artinya kita mendiami kampung / desa dan makan dari alam atau tanahnya. Itdok it did kuwat dokwain itwivnon itdid mimiir / bemii, artinya kita menempati tempat kita dan tetap menjijit bagian kita. Itwarnon afa ohoi nuhu enhov ni hukum adat, artinya kita tetap memikul semua kepentingan kampung / desa kita dengan hukum adatnya. It wait teblo uban ruran, artinya kita hidup sejujur-jujurnya dan tetap berjalan tegak lurus. Ikho hukum adat enfanganam enbatang haraang, artinya dengan demikian hukum adat akan menyayangi dan melindungi kita. Nit yamad ubadtaran nusid teod erhoverbatang fangnan, artinya leluhurpun ikut menjaga dan menyayangi kita. Duad enfangnan wak, artinya Allah pun melindungi kita. Dari ketuju bait tuturan nasehat di atas dapatlah disimpulkan bahwa kita mendiami suatu tempat / kampung atau desa di mana kita makan dan hidup dari tempat itu, menikmati hasilnya. Maka kita berkewajiban memikul dan melaksanakan , menataati aturan hukum dan adat secara jujur dan terus menerus. Dengan demikian barulah hukum adat, para leluhur dan Allah juga akan menyayangi, menjaga dan melindungi kita. C. Lembaga-Lembaga Adat di Kei Lembaga adat di seluruh wilayah kepulauan Kei, pada dasarnya tersusun berdasarka suatu wilayah adat dan pemukiman masyarakatnya. Ditinjau dari aspek hirarki teritorial maka lembaga adat di Kei terdiri dari: Ohoi yaitu, suatu pemukiman terkecil yang mendiami suatu tempat tertentu dan dilengkapi dengan pemerintahannya sendiri dan batas tanah tertentu. Contoh, Semua kampung (ohoi) yang ada di wilayah tanah adat Ewav (Kei). Utan yaitu, gabungan beberapa ohoi terdekat untuk suatu kepentingan  bersama yang lebih besar , (status desa dan dusun sekarang).  Contoh: Uat Tel Timur (Ohoitel, Ohoitahit, Watran);  Utan Tel Varat (Dullah      Darat dan sekitarnya) Vuar Tel di Kei Besar (mencakup Elrang, Reamru dan Yamtimur). Lor yaitu, gabungan beberapa Utan tertentu yang  setara dengan kecamatan saat ini, dan oleh pemerintah Kolonial Belanda menyebutnya Rat-Schaap. Berikutin adalah pembagian Lor  yang meliputi Rat-Schaap atau raja-raja sebagai berikut: Lor Siu (kelompok patasiwa) mencakup: Raja Danar Raja wain Raja Dullah Raja Ohoitahit Raja Ohoinangan Raja Yantel Raja Watlar Raja Somlain Raja Kilmas (Toyando) Lor Lim (kelompok patalima) mencakup: Raja Tabtut (Ohoivur di sebelah Barat Kei Kecil) Raja Rumat Raja Ver Raja Nerong Raja Ibra Raja Tual Raja Faan Raja Rumadian Raja Kelsoin (Toyando)   Pada tiap  Ohoi terdapatlembaga kepala kampung / dusun lengkap dengan kerapatan adat yang disebut seniri dusun dan para tetua adatnya. Pada tiap-tiap Uatan terdapat lembaga orang kaya (kepala desa), beberapa marga besar (soa) serta seniri desa dan para  tetua adatnya. Adapun pada tingkat Lor terdapat seorang raja, (kepala wilayah adat), himpunan marga besar (soa) dan seniri lengkap dengan para tetua adatnya. Di samping lembaga adat berdasarkan hirarki teritorial di atas, ada pula lebaga-lembaga adat lainnya, yakni: Utan enhov utan yakni, perhimpunan (seperti federasi) antara lembaga-lembaga adat beberapa desa dalam hal tertentu yang disepakati bersama. Lor enhov lor yakni, semacam lembaga konfederasi anatara beberapa raja dari wilayah adat besar (Lor Siuw Lor Lim) dalam berbagai hal khusus yang telahmendapat kesepakatan bersama. Manghoi Utin yakni, suatu lembaga adaat khusus berdasarkan hubungan darah atau keluarga yang bersifat sangat tertutup dan rahasia. Contoh Liat masalah perkawinan adat. Lembaga-lembaga adat ini memilki kompetensi besar dalam setiap persidangan adat baik ditingkat Ohoi, Utan maupun Lor. Juga dalam penyelenggaraan kehidupan masyarakat Ewav secara keseluruhan. Batas ‘Kata’ Dari keseluruhan uraian di atas, maka dapat dirangkum dalam suatu resume sebgai berikut:  Adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berisikan sopan santun, tata tertib dan larangan yang bertujuan memberikan pemahaman akan hak dan kewajinban warga masyarakat Kei demi mencapai kehidupan yang lebih aman dan teratur. Penyelenggaraan dan pengamanan norma dan aturan adat itu sepenuhnya diserahkan kepada lembaga-lembaga adat baik di tingkat Ohoi, Utan, maupun Lor serta konfedensi lembaga adat yang pada hakekatnya berkewajiban menjaga keutuhan dan kesakralan hukum adat Larvul Ngabal dan kehidupan masyaratan Ewav (Kei) dari “Adat fo mahiling, entub fo amnenat” (Adat diagungkan samapai selama-lamanya)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/yustinuswuarmanuk/hukum-larvul-ngabal-pedoman-hidup-bermasyarakat-orang-kei-maluku-tenggara_563979d38f7a617a0a001994