Thursday, May 12, 2016

HAMAREN

HAMAREN : PEMBANGUNAN ala MASYARAKAT KEI
Pendahuluan
Hamaren merupakan suatu sistem sosial budaya masyarakat Kei, Maluku Tenggara. Makna konsep ini setara dengan konsep gotong royong yang telah dikenal luas di Indonesia. Gugusan kepulauan Kei, yang oleh penduduk setempat menyebutnya Nuhu Evav (Kepulauan Evav) atau Tanat Evav (Negeri Evav), adalah merupakan bagian administratif daerah kekuasaan Provinsi Maluku. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah kepala Burung, Irian Jaya (Papua), di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur laut Kepulauan Tanimbar. Kepulauan Kei terdiri dari beberapa pulau, diantaranya Kei Besar (Nuhu Yuut atau Nusteen), Kei Kecil (Nuhu Roa atau Nusyanat), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dulah (Du), Dulah Laut (Du Roa), Kuur, Taam, dan Tayandu (Tahayad). Selain itu, masih terdapat sejumlah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kei adalah ± 4.049 km², yang terdiri dari, Kei Kecil dengan luas wilayah 3.468 km2, dan Kei Besar 581 km2. [1]
Dalam makalah ini penulis akan mendeskripsikan dua ide utama yaitu: Makna Hamaren; dan bagaimana kaitannya dalam pembangunan di Indonesia.
Makna Hamaren
Menurut J. Mailoa (1980 : 108) secara etimologi istilah “Hamaren” terdiri dari 3 suku kata yaitu : 1) “Ham” artinya bagi; 2) “Ar” memiliki 3 (tiga) arti yaitu dipisahkan, waktu, dan pekerjaan; 3) “En” artinya habis. Jadi Hamaren adalah pekerjaan yang dibagi bersama, dikerjakan bersama sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Sejarah munculnya Hamaren adalah dikisahkan, pada saat migrasi, awal kehidupan para leluhur terjadilah perjumpaan hidup yang harmoni oleh penduduk di Kepulauan Kei. Migrasi penduduk di kepulauan ini berlangsung pada abad 15. Umumnya mereka datang dari Maluku dan luar Maluku. Daerah-daerah dari Maluku yaitu, Ternate, Tidore, Jailolo, Ambon, Seram, dan Aru. Sedangkan dari luar Maluku yaitu, Jawa, Sumatera, Bali, Sumba, dan Irian. Mereka hidup bersama dalam suasana hidup saling berinteraksi dan berbaur satu sama lain. Kondisi tersebut menimbulkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang mendalam, sekaligus menjadi nilai dasar tercitanya format persatuan dan kesatuan hidup yang khas bagi mereka. Wujudnya adalah terciptanya hunian pada “Los” yaitu rumah yang bentuknya memanjang, tidak bersekat dan ditutup dengan daun atap rumbia. Los ini juga terbentuk karena belum tersedia rumah-rumah bagi penduduk.
Akan tetapi, kondisi tinggal secara bersama di Los panjang tidak besekat ini ternyata perbuatan-perbuatan a moral yaitu hubungan seksual, pencurian, perkelahian atau pertengkaran, bahkan pembunuhan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya batas-batas pergaulan yang tergas antara pria dan wanita yang belum menikah, antara suami dan isteri orang lain. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi munculnya ketidakharmonisan hidup. Kondisi tersebut lebih diperburuk lagi dengan belum adanya hukum lokal yang dapat dijadikan sebagai payung untuk melindungi dan memberi rasa aman bagi masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat cenderung memperhatikan hukum rimba dalam kehidupannya.
Menariknya, kondisi tersebut tidak bertahan lama karena segera muncul kesadaran bersama tentang upaya yang efektif dan terstruktur bagi penataan hidup bersama dalam suatu sistem masyarakat yang beradab dan hal itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya Hamaren.Awalnya suatu malam, para pria dewasa berkumpul sambil minum “Sageru”. Mereka bermusyawarah dan mufakat untuk membangun perumahan penduduk agar setiap keluarga dapat hidup teratur menurut hak-hak asasinya yang layak. Pekerjaan membangun rumah dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh warga masyarakat. Mereka saling tolong menolong karena pekerjaan itu berat dan perlu diselesaikan dalam waktu yang singkat. Pada kerjasama tersebut, makin lama makin berkembang sebagai sebuah tradisi kehidupan yang khas oleh masyarakat dan oleh masyarakat setempat dinamakan Budaya Hamaren. Jadi kehadiran budaya Hamaren merupakan cara masyarakat mengorganisir dirinya dan cara mengatur tertibnya hidup. Dalam konteks seperti ini, maka setidaknya terdapat tiga maknaHamaren yang perlu dikemukakan, yakni:
1.      Makna kebersamaan dalam kemajemukan hidup
Berdasarkan pengertian Hamaren secara etimologis, terlihat bahwa di dalam kata Ham dan Ar, terselip pengertian “banyak” (majemuk). Artinya pekerjaan yang diselesaikan secara bersama, Hamaren selalu melibatkan banyak orang. Pengertian kemajemukan (banyak orang) ini dapat menunjukkan pada 1) keterlibatan masyarakat yang berbeda agama (Protestan, Katolik, Islam). Perwujudannya nampak dalam partisipasi untuk menyelesaikan pembangunan gedung Gereja dan Masjid, rumah penduduk, pembuatan jalan raya, pembuatan kebun, penangkapan ikan, kedukaan dan perkawinan; 2) keterlibatan semua tingkatan kasta yang ada dalam masyarakat. Kata Hamaren berasal dari kata : Mel – Ren, yang menunjuk pada kerja tolong menolong antara kasta Mel-mel (kelas bangsawan) danRen-ren (kelas menengah). Jadi, Hamaren adalah Mel-mel dan Ren-ren bersama-sama, bekerjasama, bergotong-royong. Hasil kerja tolong menolong antar kedua kasta ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup bersama.
Ada 2 filosofi yang dapat mempersatukan keterlibatan kedua kasta ini dalam suatu pekerjaan, yaitu 1) kesil kerbau bo, tes tatotnam hoar yarut, artinya kalau ada musyawarah dan kerjasama antara Mel-mel dan Ren-ren, tentu suatu pekerjaan akan terselesaikan; 2) Mel-mel ni sus, intub fo Ren-ren ni sus, Ren-ren ni sus, intub fo Mel-Mel ni sus, artinya kesusahan Mel-mel adalah juga bagian dari kesusahan Ren-ren, sebaliknya juga demikian.
2.      Makna pembagian kerja serta efisiensi waktu   
Hamaren juga mengandung konsep pembagian kerja (diserfikasi kerja). Di mana pembagian kerja disesuaikan dengan jenis pekerjaan. Hal ini dimaksudkan agar setiap pekerjaan dapat diselesaikan berdasarkan waktu yang ditentukan. Jika kerja Humaren untuk membangun sebuah rumah, tentu diawali dengan pengambilan kayu di hutan, pembersihan ramuan kayu rumah, pembersihan dan penyiapan fondasi rumah, sampai tiba pada mendirikan dan pengatapan rumah. Jenis-jenis pekerjaan ini memperlihatkan adanya pembagian kerja. Pembagian kerja tersebut tidak mutlak di atur, tetapi harus prakarsa para pekerja, mereka dapat menyesuaikan diri dengan jenis pekerjaan yang sedang dilakukan atau dapat pula disesuaikan dengan keterampilan yang dimiliki.
Akhirnya, di dalam pengertian Hamaren tercakup pula target waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, misalnya sehari penuh. Istilah Hamar-en, berarti siang selesai; mengandung pengertian bahwa pekerjaan itu perlu diselesaikan pada siang hari atau sebelum matahari terbenam.
3.      Makna persatuan hidup
Hamaren dipahami sebagai tanggungjawab bersama seluruh warga masyarakat dan menjadi pilihan dalam rangka menyelesaikan berbagai jenis pekerjaan, baik sifatnya individual maupun komunal. Pekerjaan dimaksud dilaksanakan secara spontan dan sukarela, tanpa pamrih. Dengan demikian Hamaren menjadi wahana untuk mempersatukan seluruh warga masyarakat karena didalamnya terkadung nilai-nilai kesatuan dan kerjasama. Hal tersebut diungkapkan melalui 4 prinsip filosofi, yaitu :
Tafoing fo kut ceinmehe, tafau banglu watu, artinya persatuan dan kesatuan itu bagaikanlidi-lidi yang diikat dan dipadukan menjadi satu kesatuan yang utuh, sehingga dapat digunakan untuk mengeluarkan debu atau kotoran dari dalam rumah maupun halaman rumah.
U welwel ai rangrang, artinya persatuan, kesatuan dan kerjasama antara pemimpin dan yang dipimpin dapat memungkinkan suatu pekerjaan terselesaikan dengan baik.   
Belan in so yaat in wel, artinya persatuan dan kerjasama untuk melaksanakan suatu pekerjaan berjalan sangat lancar hingga selesai, baik di darat maupun di laut. Kelancaran pekerjaan itu, diandaikan seperti sekelompok orang yang sedang mendayung perahu dengan laju (belan in so).
Vat ranem ika lutur, ai ranem ika ngeam, artinya persatuan dan kesatuan itu sama seperti batu-batu yang terkumpul menjadi pagar batu (lutur) dan kayu-kayu dikumpulkan menjadi pagar kayu (ngean). Ungkapan-ungkapan ini menyatakan tercapainya kesuksesan yang gemilang, apabila suatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama.
Hamaren dan Pembangunan di Indonesia
Pertanyaannya adalah apakah arti dari hubungan makna Hamaren dan makna pembangunan?  Artinya adalah bahwa sebenarnya makna yang terkandung dalam Hamarenitu mendukung makna pembangunan. Makna pembangunan adalah usaha untuk menciptakan keadaan dimana tersedia lebih banyak alternatif yang kondusif bagi setiap individu untuk mencapai aspirasinya yang paling humanistis. Makna lain dari pembangunan adalah perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Sedangkan makna Hamaren ada tiga yaitu 1) kebersamaan dalam kemajemukan hidup; 2) pembagian kerja serta efisiensi waktu; 3) persatuan hidup. Artinya untuk mewujudkan ketiga makna Hamaren tersebut maka ada 3 hal yang mendukungnya yaitu kesadaran individu dan kolektif, solidaritas sosial, dan kerjasama.
Jika keduanya dihubungkan artinya untuk mewujudkan pembangunan yang paling humanistis dan menuju ke arah perubahan yang paling baik maka ketiga  makna Hamarenperlu menjadi dasar dan pedoman karena Hamaren merupakan budaya yang sifatnya muncul dari aspirasi masyarakat kalangan bawah.  Faktor-faktor non-materil seperti kesadaran individu dan kolektif, solidaritas sosial dan kerjasama dalam hidup bermasyarakat tidak boleh diabaikan karena ketiga hal itu sangat berperan dalam pembangunan ekonomi (Colleta 2000 : 21).
Berikut ini akan dijelaskan sumbangan nilai budaya Hamaren untuk menciptakan satu kehidupan masyarakat yang harmonis yang akhirnya dapat mendukung pembangunan khususnya pembangunan non-materil.
1. Kesadaran    
Menurut Comte dalam masyarakat pasti ada saling ketergantungan antar individu. Agar ketergantungan itu bergerak harmonis maka perlu adanya keteraturan sosial. Karena adanya keinginan untuk mewujudkan keteraturan sosial itu maka kesadaran akan saling ketergantungan itu akan membentuk ikatan-ikatan sosial (Johnson, 89-90). Apa yang telah dijelaskan oleh Comte ternyata telah mewarnai kehidupan masyarakat Kei pada waktu itu. Pada abad 15 itu masyarakat Kei hidup secara a moral dalam satu rumah hunian Los. Akhirnya mereka sadar bahwa setiap keluarga dapat hidup teratur dan mempunyai hak-hak asasinya. Solusinya adalah dengan membangun rumah bagi setiap keluarga yang dikerjakan secara bersama-sama dalam waktu yang telah ditentukan. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Hamaren.
2. Solidaritas Sosial
Apa yang mempersatukan satu organisasi besar? Menurut Durkheim yang mempersatukan adalah bukan kepentingan ekonomi (gaji atau keuntungan) tetapi solidaritas sosial. Solidaritas sosial ini dapat dilihat dalam partisipasi individu memberi sumbangan pribadinya kepada orang lain. Adanya sumbangan pribadi ini memperlihatkan bahwa antar individu ada saling ketergantungan ( Johnson, 182–183). Penjelasan yang mirip dengan itu, McClleland mengatakan bahwa  manusia memiliki kebutuhan atau dorongan untuk berpretasi. Dorongan utama dalam berpretasi adalah kepuasan batin bukan pada imbalan materi (Budiman, 22). Solidaritas social dalam budaya Hamaren diwujudkan dalam berbagai jenis pekerjaan yang dilakukan bersama oleh masyarakat. Konkritnya, setiap orang menyumbangkan sesuatu yang dimilikinya (yelim) baik berupa pikiran, tenaga, waktu maupun materi demi mewujudkan eksistensi dirinya sebagai makhluk yang menghargai warisan budaya leluhurnya. Kegiatan tolong menolong itu dilakukan secara timbal balik, artinya kedua pihak saling tolong menolong.
3.   Kerjasama
Untuk membebaskan seseorang dari kendali yang kaku dan memberi kebebasan untuk bertanggungjawab terhadap ide, keputusan, dan tindakannya dalam partisipasi pembangunan maka orang tersebut harus diberi support atau dukungan. Dukungan itu dapat tercipta ketika ada kebersamaan dan kerjasama (Suwondo, 17). Kerjasama dalam budayaHamaren diwujudkan dalam bekerja secara komunal. Pekerjaan yang dilakukan secara spontan dan sukarela.
Kata Akhir  
Hamaren merupakan suatu sistem social budaya masyarakat Kei, Maluku Tenggara yang termanifestasi dalam bentuk kerja tolong menolong antar warga. Hamaren juga hadir sebagai cara masyarakat menyatakan solidaritas social dan kerjasama yang didasarkan atas kesadaran.
Falsafah hidup solidaritas kesadaran individu dan kolektif, solidaritas social dan kerjasama dapat menjadi faktor-faktor non-materil yang dapat mewujudkan pembangunan paling humanistis dan ke arah perubahan yang lebih baik.
[1] Maluku Tenggara Dalam Angka 2004; Tual: Badan Pusat Statistik Maluku Tenggara, 2004. 8. http://id.wikipedia.org/wiki/Kepulauan_Kai#Sejarah. Diunduh 17 Desember 2009.
Sumber : https://ellykudubun.wordpress.com/category/tentang-evavkei/
Diunduh : 22 Maret 2016

http://www.bratahungan.com/426665309