Thursday, May 12, 2016

AGAMA DAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT KEI

AGAMA DAN BUDAYA LOKAL MASYARAKAT KEI

I. Pendahuluan
Realitas problematis masyarakat Maluku dengan adanya konflik kemanusiaan (1999) sungguh menghantar setiap orang pada sikap saling membenci. Kehadiran kelompok lain hanya sebagai acaman. Masyarakat mengalami tantangan yang berat serta berada dalam situasi yang tidak mengenakan. Meskipun demikian, konflik di Maluku khususnya di Kei dapat dengan cepat berakhir, dibanding daerah-daerah lain. Salah satu indikasi yang cukup kuat dalam mendukung upaya rekonsiliasi tersebut adalah pemahaman masyarakat Kei akan kearifan lokalnya, yang tercermin dalam hukum adat Larwul Ngabal, selan itu, juga adanya peran penting dari agama, dan pemerintah. Kerjasama antara tiga institusi, yakni, adat, agama dan pemerintah, adalah merupakan bagian dari elaborasi kearifan lokal masyarakat Kei. Hal ini tercermin dalam prinsip hidup yakni adat, kubni, dan agam.[1] Sebagai tonggak yang menopang seluruh dimensi kehidupan. Dalam realitas kehidupan masyarakat Kei adat mendapat tempat pertama, sebab sebelum adanya pemerintah dan agama Abrahamik di bumi Larwul Ngabal, adat dan lembaga adat atau budaya orang Kei sudah lebih dahulu berperan.

Dalam interaksi kehidupan sehari-hari pada masyarakat Kei, terdapat tiga nilai perekat, yakni (1), falsafah ain ni ani yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; (2), falsafah foing fo kut fauw fo banglu. Nilai foing fo kut ini bermakan menghimpun beberapa mayang kelapa lalu diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi kehidupan, sedangkan fauw fo banglu, bermakna kemampuan menciptakan “peluru” untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi serangan[2]; dan (3), filosofi wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur, yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal dari satu keturunan.[3]
Secara umum kebudayaan dapat diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang secara social diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.[4] Sekalipun sebagai warisan, kebudayaan kemudian tidak serta-merta menjadi mutlak. Karena itu, dalam pandangan Soedjatmoko, tentang konsep otonomi dan kebebasan, dia menyatakan bahwa kebudayaan sebagai otonomi beraspek statis, bertahan terhadap perubahan; sedangkan kebudayaan sebagai kebebasan beraspek dinamis, mendorong perubahan.[5] Dalam perspektif seperti inilah dapat dimaknai prinsip hudup masyarakat Kei seperti diuaikan di atas.

Kekristenan sampai ke Maluku  pada saat  Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) berkuasa pada abad 17 dan 18. Kehadiran para pendeta dan ziekentrooster bukan saja dimanfaatkan oleh gereja untuk melayani pegawai VOC tetapi juga untuk memelihara orang-orang Kristen Ambon yang sebelumnya menganut agama Katolik Roma yang kemudian di-Protestankan ketika penguasa VOC mengambil alih kekuasaan di Ambon dari tangan Portugis pada tahun 1605.[6] Dan, sejak tahun 1635 diadakan pekabaran Injil ke pulau Kei, kemudian Aru, Tanimbar dan pulau-pulau Selatan Daya (Babar, Wetar, Leti, dst) dengan memakai tenaga guru. Sampai dengan abad ke-18 Kekristen-an telah diterima oleh orang-orang Maluku yang terhimpun dalam jemaat-jemaat dan tersebar di hampir seluruh daerah kepulauan Maluku.[7]

Dalam perjumpaan agama dengan kebudayaan (adat) setempat ini, nampak sikap negatif yang di perlihatkan oleh agama terhadap budaya lokal. Dalam konteks masyarakat Kei, dapat ditelusuri pada peristiwa tahun 1960-an dan 1970-an yakni pengahancuran benda-benda agama suku Kei – yang menurut pemahaman masyarakat setempat memiliki kekuatan magis. Suatu peristiwa yang sungguh memberi penilaian negatif terhadap gereja dengan tindakannya. Akibatnya ada sebuah pengalihan atau perubahan pemahaman yang menempatkan benda-benda agama suku sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan magis, berubah menjadi menempatkan benda-benda yang berhubungan dengan gereja  (Alkitab, roti perjamuan dan air bekas baptisan, gedung gereja, dan lain-lain), dianggap bernilai sakral dalam pengertian “keramat” dan memiliki “kekuatan gaib”. Air bekas baptisan misalnya diyakini mempunyai khasiat menyembuhkan dan diberi minum kepada orang sakit.

Agama Kristen lahir dalam tradisi monoteisme Yahudi, dan Yesus adalah pewaris tradisi yang telah mapan itu. Para pendiri gereja Kristen kemudian mengakui berbagai manifestasi kebenaran sebelumnya, dan menganggap agama Kristen sebagai pewaris dan ungkapan kebenaran yang final. Untuk itu, maka sejak awal sejarah gereja secara eksklusif telah mengatakan bahwa orang hanya dapat dibenarkan atau diselamatkan melalui Kristus di dalam gereja. Doktrin yang ekstrim ini membawa konsekuensi pada pemahaman bahwa orang diluar gereja adalah kafir, dan orang kafir haruslah diselamatkan. Caranya adalah harus dibabtis dan masuk menjadi anggota gereja. Doktrin ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah teologi Kristen kemudian.

Namun demikian, pendasaran ajaran Kristen pada awalnya, yang dilakukan dengan metode “hafalan” dengan menghafal pokok-pokok ajaran Kristen seperti: Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, dan Dasa Titah, sepertinya tidak berhasil dengan tuntas pada masyarakat Kei. Hal ini terbukti dengan masih diyakininya agama suku dalam wujud Duan, bahwa semua benda di bumi ini memiliki suatu kekuatan di dalamnya – Duan. Senada dengan yang digambarkan Soedjatmoko, bahwa proses tertanamnya budaya asing di Indonesia tak pernah berhasil sampai tuntas. Sebabnya adalah karena pengaruh budaya asing harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan setempat yang sudah terbentuk, dan norma-norma budaya asing (agama Abrahamik) tak dapat menggeser sama sekali atau mengganti norma-norma adat dalam masing-masing kebudayaan di Nusantara.[8]

Tulisan ini, mencoba menguraikan realitas hidup masyarakat Kei dan norma-norma yang mendasari kehidupan mereka, serta bagaimana perjumpaan norma-norma atau model agama sukunya itu dengan agama Kristen, atau bagaimana ajaran Kristen melihat norma adat Kei dalam perjumpaan kekinian.
II. Realitas Kehidupan Masyarakat Kei
Secara khusus, keberadaan hidup masyarakat di kepulauan ini mungkin belum banyak dikenal, namun dalam catatan sejarah lokal Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakan masyarakat Kei yang secara struktural tetap mempertahankan hukum adat tertingginya Larvul Ngabal[9] suatau hukum adat yang di dalamnya mengatur semua aspek kehidupan individu (manusia) maupun komunitas atau ohoi. Ohoi adalah satuan pemukiman terkecil (setara dengan kampung/desa).[10] Sejak ditetapkannya UU No. 5 Tahun 1979 oleh Pemerintah Orde Baru, ohoi kemudian berubah namanya menjadi desa, atau beberapa ohoi disatuakn menjadi satu desa.

Secara umum, masyarakat Kei terklasifikasi dalam dua persekutuan adat, yakni, Lor Siw / Ur Siw (Siw Ifaak) dan Lor Lim (Lim Itel). Secara etimologis Lor berarti kumpulan orang banyak atau sekumpulan orang yang mendiami wilayah/Ratschap atau kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial, sedangkan Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 (sembilan) dan  5 (lima). Angka ini dipahami sebagai lambang institusi masing-masing persekutuan. Artinya kuantitas massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut[11]. Hukum adat Larvul Ngabal merupakan gabungan dari dua hukum adat, yaitu hukum Larvul yang ditetapkan di desa Elaar, Kei Kecil oleh sembilan Rat (raja) yang kemudian dikenal dengan nama Ur Siw, dan hukum adat Ngabal ditetapkan di desa Lerohoilim, Kei Besar oleh lima Rat (raja) yang kemudian bernama persekutuan Lor Lim.Selanjutnya, dalam proses penahklukan dan perluasan wilayah kekuasaan dari kedua persekutuan masyaraat adat ini, kemudian bersepakat untuk berdamai dengan menggabungkan kedua hukum adat tersebut menjadi Larvul Ngabal.[12]

Terdapat beberapa prinsip dan sikap hidup orang,[13] yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama,Sikap rela menolong, istilah yang dipakai untuk menjelaskan sikap hidup orang Kei ini ialah maren atau hamaren. Maren berarti bekerja bersama-sama. Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa undangan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah (termasuk gereja atau masjid), pesta perkawinan atau kematian. Semua orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Jadi ada semacam kerelaan dari setiap orang untuk membantu sesama demi kekerabatan yang telah terjalin. Sikap rela menolong ini pada dasarnya dilakukan demi kelestarian hubungan dengan orang lain. Dengan demikian, ada perasaan wajib untuk menolong sesama.

Kedua, Sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain, dia sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap usaha dan pekerjaannya. Ketiga, Sikap hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan diseluruh daerah. Atasan menurut pandangan orang Kei adalah orang yang dapat mempersatukan suatu kelompok kekerabatan. Dia memiliki kekuasaan dan merupakan representasi hukum yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih merupakan unsur transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh karena itu, kedudukannya dihormati dan ditaati.[14] Dan, keempat,Sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kata terima kasih berarti “tet ya”. Istilah ini memiliki makna yang sangat mendalam, artinya “karena kebaikanmu, engkau  saya tempatkan dalam lubuk hati agar engkau dekat dengan saya”. Jadi hakikat dari ucapan terima kasih orang Kei adalah kebaikan orang lain perlu dibalas dengan sikap yang mengeratkan hubungan sosial.
2.1. Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Kei

Inti dari adat-istiadat orang Kei adalah kekeluargaan. Kekeluargaan pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan di Kei yang diikat dengan hukum adat terujud dalam relasi Yanur-Mangohoi, Koi-Maduan, dan Teabel.

Pertama, Yanur-Mangohoi, bentuk kekerabatan ini merupakan suatu kesatuan orang-orang yang diikat dalam perkawinan adat. Artinya perkawinan dua orang menjadi tanggungjawab dua keluarga besar (fam). Fam merupakan suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. Yanur-Mangohoi diikat dalam suatu perkawinan dan berlaku terus selama belum ada kematian dari salah satu pihak. Meskipun islilah ini hanya dikenakan dalam konteks perkawinan, namun implikasi dari sistem ini juga ada dalam upacara kematian.

Kedua, Koi-Maduan, secara harfiah, Maduan berarti tuan atau pemilik. Maduan adalah orang yang selalu memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan disebut Koi yang artinya bawahan atau abdi. Koi-Maduan dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, di dalamnya terdapat relasi atasan dan bawahan. Pihak atasan bertindak sebagai yang menguasai, mengatur, menuntut hak, dan bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya, sedangkan pihak bawahan wajib tunduk dan taat, serta mempercayakan diri kepada atasannya dan melayani. Bentuk kekerabatan ini berlandaskan rasa percaya yang tinggi, namun dalam prakteknya, terkadang yang terjadi adalah dominasi atasan terhadap bawahan.

Ketiga, Teabel, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni Tea yang artinya menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir. Jadi Teabel adalah bentuk kekerabatan atau perjanjian yang diikat oleh “aliran darah”. Unsur yang utama dari budaya ini adalah solidaritas antara saudara yang menunjuk pada dua hal, yakni, sikap untuk membantu orang/kampung lain yang terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini sebenarnya mau mengangkat derajad semua orang sebagai saudara yang harus dihargai, dilayani dan diperhatikan.[15]

2.2. Gagasan-gagasan Dasar Kekeluagaan
Bentuk-bentuk kekerabatan masyarakat Kei seperti yang telah dijelaskan di atas, memiliki beberapa kesamaan gagasan dasar yakni sikap hidup kolektif, semangat solidaritas, dan kekeluargaan, mengutamakan suatu persaudaraan yang diikat dalam keluarga. Perjanjian adat mengkondisikan semua orang untuk saling membantu dan mengaggap orang lain sebagai keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi kekeluargaan tanpa membedakan agama. Berdasarkan itu, ada dua hal yang perlu diuraikan.

Pertama, kebersamaan  yang berpusat pada keluarga. Hubungan antar pribadi selalu didasarkan atas hubungan “saudara”. Semua orang dilihat sebagai saudara dari satu keluarga. Hal ini jelas dalam struktur keluarga ala Kei lewat istilah “Teen fo teen, yanyanat fo yananat, yaan fo yaan, warin fo warin, yanur fo yanur, mangohoi fo mangohoi.” Ini bermakna bahwa keluarga Kei memiliki struktur yang memaksa setiap anggota keluarga untuk memiliki status sendiri. Inti dari struktur ini adalah menempatan orang tua sebagai atasan dan anak sebagai bawahan. Satu kecenderungan dasar masyarakat Kei dalam menelusuri hubungan kekeluargaaa dalam pergaulan, misalnya, lewat pertanyaan “siapa orang tuamu”, kesimpulan yang selalu diambil adalah “kamu dan saya adik-kakak”, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah dalam arti sempit. Cara seperti ini sama saja dengan menepatkan orang lain dalam struktur keluarganya.

Kedua, sikap kolektif orang Kei. Dalam tindakan kolektif (sosial) orang Kei selalu memprioritaskan aspek hukum, bahkan memutlakannya. Didalam kehidupan bersama, hukum adat selalu dijunjung tinggi diatas segalanya. Keataatan terhadap hukum ini didasarkan pada cita-cita agar  kekerabatan semakin terwujud. Itulah suatu kecenderungan dalam sikap kolektif orang Kei. Namun perlu dipahami bahwa kekerabatan karena ketaatan kepada hukum bukan berarti sikap legalistis, yang berarti taat kepada hukum demi hukum itu, tetapi ketaatan orang Kei kepada hukum demi kekerabatan. Peraturan, perjanjian, dan kesepakatan yang diikat dalam hukum harus ditaati agar kekerabatan bisa bertahan, apabila aturan atau hukum dilanggar, maka akibatnya kekerabatan atau kekeluargaan menjadi “ternodai, renggang, bahkan bisa hilang/terputus.

2.3. Sistem Kepercayaan Masyarakat Kei
Menurut Yong Ohoitimur, agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur: Animisme, Magi, dan Totemisme.[16] Animisme berasal dari perkataan latin, anima artinya “nyawa”[17] Dari asal kata ini, nyawa bisa diartikan sebagai roh. Jadi animisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan akan adanya roh-roh yang memasuki benda-benda di dalam alam semesta, misalnya pohon, hutan, batu, air, dan sebagainya. Istilah animisme, peratama kali dikemukakan oleh Edward Tylor, melalui bukunya Primitive Culture (1871). Baginya bentuk agama yang paling awal adalah the beliefe in spiritual being. Dalam visi Tylor mengenai evolusi agama, disamping arwah-arwah dan makhluk-makhluk halus itu, muncul dewata; kemudian diantara para dewata itu salah satunya muncul sebagai dewa atau Tuhan yang terbesar, dan akhirnya dewata yang lain tidak diakui lagi.

Dalam konteks masyarakat Kei,  terdapat kepercayaan bahwa semua benda di alam semesta memiliki roh. Roh dalam bahasa Kei disebut Duan. Duan dianggap menetap dalam segala benda. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama Kristen, Duan itu kemudian mengalami sedikit perubahan dalam penyebutannya menjadi Duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah – yang mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud dari animisme dalam masyarakat Kei sampai saat sekarng masih dapat teramati dalam betuk pemberian persembahan (daun siri, buah pinang, tembakau, dan uang logam), yang diisi dalam piring dan diletakan dibawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap keramat.

Sedangkan “Magi” dalam agama lokal adalah suatu cara berpikir atau cara hidup, yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir sebagai perseorangan.[18] Kata magi juga digunakan untuk mengartikan usaha-usaha manusia menguasai benda-benda dan orang lain dengan cara gaib. Menurut keyakinan orang, kemampuan bekerja secara gaib pertama-tama terletak dalam suatu pertalian yang erat antara pelaku magi itu dengan roh-roh halus – duan, setan atau dewa-dewa.[19] Orang Kei percaya bahwa baik manusia maupun makhluk lain memiliki keahlian (dalam makna duan). Roh itu selalu berusaha mengambil bagian dalam kehidupan manusia dan sebaliknya, maka orang Kei percaya bahwa ia mampu memiliki keahlian untuk mempengaruhi roh manusia/makhluk lain. Pengaruh manusia terhadap roh lain terjadi pada dunia gaib, tidak kelihatan, namun menggunakan benda-benda duniawi. Misalnya seseorang menggunakan sebuah batu (atau suatu benda tertentu), yang mempengaruhi orang lain sampai sakit, atau bahkan sampai meninggal dunia.[20]

Selanjutnya, dalam sistem kepercayaan orang Kei terdapat juga model Totemisme.Totemisme adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud binatang.[21] Dalam realitas hidup masyarakat Kei, sebagai contoh masyarakat Ohoifau meyakini Ikan Puring sebagai Totemnya, orang Ohoidertutu menerima penyu sebagai totemnya, bahkan fam/marga tertentu juga memiliki totem sendiri, dan sebagainya. Orang Kei percaya ada hubungan khusus antara obyek-obyek tertentu, seperti: ikan, burung, tumbuhan, dan sebagainya dengan dunia ilahi. berdasarkan keyakinan seperti ini, orang Kei menyebut ikan suci, rumput suci, burung suci, dan sebagainya. Terhadap obyek suci itu orang harus menghormatinya.[22]

Demikianlah menjadi jelas beberapa bentuk asli dari praktek hubungan antara dunia nyata dan dunia ilahi seperti terdapat dalam kehidupan orang Kei. Benang merah yang dapat ditarik dari ketiga unsur di atas adalah bahwa orang Kei masih mengakui adanya suatu kekuasaan ilahi yang sakral di luar yang profan. Sebagian ritus-ritus di atas hanya kemukakan sebagai contoh, untuk menggambarkan bahwa masuknya agama-agama dunia di Kei, tidak serta-merta menhilangkan kepercayaan atau agama suku dari masyarakat tersebut.

III. Agama dan Budaya Lokal: Elaborasi Hukum Adat Larwul Ngabal
Secara umum, kajian tentang agama setidaknya terbagi dalam dua dimensi, yakni dimensi teologis dan sosiologis. Dimensi teologis berangkat dari adanya klaim tentang kebenaran mutlak ajaran suatu agama. Doktrin-doktrin keagamaan yang diyakni berasal dari Tuhan, kebenarannya juga diakui berada diluar jangkauan kemampuan pikiran manusia sehingga ia semata-mata menjadi ajaran yang cukup diamini saja, pokoknya iman. Sedangkan Dimensi Sosiologis, melihat agama sebagai salah satu dari insttusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial. Dalam konteks kajian sosiologi seperti ini, agama tidak dilihat berdasarkan apa dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinannya, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.[23]

Secara lebih khusus, dengan memperhatikan masalah-masalah yang dikemukakan di atas, agama dapat didefenisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci. Agama dibedakan dari isme-isme lainnya, karena ajaran-ajaran agama bersumber pada wahyu atau kitab suci, melalui nabi atau perantaranya. Dalam agama-agama besar atau samawi ajaran-ajaran agama yang diturunkan melalui wahyu tersebut dibukukan sebagau kitab suci. Sedangkan agama-agama lokal atau primitif, ajaran-ajaran agama tersebut tidak dibukukan. Ia tetap berada dalam bentuk lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi-tradisi dan upacara-upacara.[24]

Dengan demikian, dibawah ini akan diuraikan pertemuan antara agama dengan budaya lokal. Dalam hal ini, bagaimana ajaran agama Kristen dimaknai oleh masyarakat Kei, dan coba dirumuskan padanannya dengan hukum adat Larwul Ngabal[25].

Darah merah melambangkan bahwa Hukum Larvul itu perasaan- atau pikiran sehati yang berani, agung dan gerak masyarakat. Dan tombak Bali itu adalah lambang, bahwa HukumNgabal itu berpijak, tajam, kuat, agung dan sakral. Dengan demikian, terdapat peri-bahasa menyatakan:“Larvul inturak, Ngabal inadung”. Artinya Larvul menetapkan secara umum dasar-dasar hukum adat, dan hukum Ngabal lebih mempertegas kekuatan Hukum adat.

Secara keseluruhan hukum adat ini terdiri dari 7 pasal[26], yakni:
Pasal 1. Uud entauk atvunad:  berarti “kepala bersatu, bertumpu di atas pundak” artiya dimana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh bagian tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalahDuad[27] atau yang Mahakuasa; para leluhur (moyang-moyang); dan tokoh-tokoh adat, pemerintah dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, karena mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/persatuan dan harmoni dalam masyarakat dapat dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan sebagai anggota tubuh.

Tugas perlindungan mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan ungkapan peri-bahasa Kei, yang dinyatakan sebagai: Sob Duad, taflur (flurut) Nit, fo hoar towlai, artinya “kita meminta berkat dengan berdoa kepada Tuhan, dan kita saling hormat-menghormati dengan mengingat pesan-pesan leluhur supaya kita berselamat di dunia dan akhirat.” Dalam penerapannya, ketika berhadapan dengan agama Kristen, ayat Alkitab yang dipakai sebagai padanan untuk pasal ini adalah Kitab Keluaran 20 ayat 1-2
Pasal 2. Lelad ain fo mahiling: berarti:”Leher bersifat luhur, suci dan murni” pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei danggap sebagai pusat hidup dan kehidupan yang bernafas, dan yang harus dilindungi atau dijaga. lihat Keluaran 20 ayat 13, “Jangan membunuh”; dan Kejadian 2 ayat 7b, “…menghembuskan nafas hidup kedalam hidungnya, demikianlah manusia itu makhluk yang hidup”.

Pasal 3. Ul nit envil rumud : berarti “kulit membungkus tubuh kita”, ungkapan ini memiliki dua arti, yakni pertama, harkat dan martabat manusia harus dilindngi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga dapat diartikan sebagai kemampuan merahasiakan sesuatu tentang orang lain dan diri sendiri. Hal ini sama dengan apa yang tertulis dalam kitab Keluaran 20 ayat 16, “jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”.

Pasal 4. Laar nakmut naa ivud : berarti “darah beredar atau terkurung di dalam tubuh” makna dari pasal ini adalah penghargaan terhadap kehidupan, karena itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dilarang melakukan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang dapat mengakibatkan keluarnya darah dari dalam tubuh. Sama dengan “jangan membunuh”

Pasal 5. Reek fo kelmutun : berarti, “ambang kamar atau kesucian kaum wanita diluhurkan” ungkapan ini memiliki dua arti, yakni, pertama, bahwa kamar tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua,perempuan juga dilambangkan seperti tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang wanita dengan cara ‘bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya’.

Pasal 6. Moryaian fo mahiling : “tempat tidur orang yang sudah berumah tangga dan juga wanita bujang (gadis) adalah agung mulia” hal ini juga berkaitan dengan pasal 5. Bahwa orang lain tidak boleh menggunakan atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis. Kedua pasal ini (5 dan 6) dapat dilihat padanannya pada kitab Keluaran 20 ayat 14, “Jangan berzinah”; dan ayat 17b, …Jangan mengingini isterinya (sesamamu). Dan,

Pasal 7. Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did: Milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan pribadi itu mempunyai bukti atau ada sejarah (argumentasi) yang dapat membuktikan kepemilikan tersebut. Padanan dari pasal ini adalah kitab Keluaran 20 ayat 17. Dalam konteks ini, pemikiran Weber tentang Etika Protestan menjadi penting untuk dikembangkan. Bahwa pemahaman terhadap agama memerlukan pendekatan ekonomi, dalam rangka peningatan ekonomi jemaat, dan bukan untuk memperkaya para elit agama.
Dapat dikatakan bahwa mekanisme lebih lanjut atau aturan pelaksana dari Hukum AdatLarwul Ngabal seperti yang telah diuraikan di atas, dielaborasi lagi ke dalam 3 (tiga) bentuk hukum adat Kei yakni Hukum Nevnev; Hukum Hanilit, dan Hukum Hawear Balwarin. Ketiga hukum adat ini masing-masing terdiri dari 7 pasal. Bila dipilahkan pasal-pasal dari hukumLarvul Ngabal ke dalam ketiga hukum ini, maka pasal 1-4 adalah hukum Nevnev, atau hukum peri-kemanusiaan, penghargaan terhadap kemanusiaan; pasal 5-6 adalah hukum Hanilit,atau hukum susila/perilaku, penghargaan terhadap perempuan; dan pasal 7 adalah hukumHawear Balwarin atau hukum keadilan sosial[28].

Dari penjelasan ke-7 pasal hukum adat di atas, dapat dilihat bagaimana agama mencoba mengelaborasi diri dalam budaya lokal. Dengan demikian, sudah sepantasnya kehadiran agama samawi atau agama-agama besar dunia itu, dalam perjumpaannya dengan budaya atau agama lokal tidak dalam kerangka menghilangkan atau membunuh agama suku tersebut. Namun harusnya berada dalam perjumpaan yang saling melengkapi.

Permasalahannya, mungkin ada yang salah diri kita dalam menghayati dan memposisikan relasi manusia dengan agama. Agama hadir untuk membantu mengembangkan kepribadian seseorang dan masyarakat, bukan untuk melakukan hegemoni dan memenjarakan martabat potensi kemanusiaan kita. Dengan kata lain, agama hadir untuk memperjuangkan martabat manusia, dan bukan martabat manusia dikorbankan untuk institusi agama. Jadi agama untuk manusia. Jika bercermin pada konflik bernuansa SARA yang terjadi di Maluku tahun 1999, maka yang terjadi adalah bahwa manusia untuk agama, karena itu, orang rela mati atau membunuh orang lain atas nama agamanya. Disinilah letak salah satu kekuatan simbol keagamaan yang amat dahsyat sehingga kualitas individu ditelan oleh emosi solidaritas kelompok sehingga nalar kritis bisa macet.

3.1. Budaya Kei dan Kekristenan: kenyataan yang dapat disejajakan.
Hukum adat dan nilai-nilai kekeluargaan yang dimiliki masyarakat Kei sejak dahulu sebenarya memiliki kualitas dan keampuhan untuk tetap menjaga persatuan dalam relasi yang majemuk. Setiap kehidupan dan kegiatan didasarkan pada hukum adat memberi peluang kepada setiap individu untuk tunduk kepadanya dan percaya bahwa hukum yang ada merupakan sesuatu yang sacral dan punya kekuatan. Hukum adat dapat menjamin hak-hak asasi, harkat dan martabat manusia, adanya penghargaan yang tinggi teradap individu, kelompok, dan nilai hidup manusia. Pribadi manusia itu mulia dan agung, memiliki kualitas dan keunikan masing-masing.

Budaya Kei pada dasarnya memiliki kesejajaran dengan nilai-nilai kekeristenan. Misalnya, nilai cinta kasih, damai, persaudaraan, suka-cita, solidaritas, dan saling menghargai orang lain tanpa membedakan suku, agama, dan golongan. Nilai kekristenan hendak menunjukan bahwa persaudaraan lebih baik dari pada balas dendam, cinta kasih lebih baik dari pada kebencian. Kekristenan lewat institusinya (gereja) memberi perhatian besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan terutama mereka yang miskin, menderita, tertindas, tersingkir, sakit dan mereka yang kecil. Gereja menyadarkan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang terbatas. Untuk itu manusia harus saling membantu, menghargai, solider, terbuka dalam membangun persatuan, kekeluargaan dan persaudaraan sejati dengan Allah dan sesama. Dengan demikian kita dapat mengenal diri kita sendiri sebagai peserta dalam satu komunitas dunia yang meliputi semua agama.

3.2. Budaya Kei dan Kekristenan: dua hal yang saling melengkapi.
Adat yang dimaksud di sini adalah kebiasaan-kebiasaan yang diikuti sebagai suatu kebiasaan (folkways) yang baik dan tingkah laku yang sopan, yang merupakan esensi dari kesejahteraan bersama. Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan (mores). Adat merupakan konvesi social yang berfungsi membimbing orang kepada sikap bijaksana, kesopanan, dan persekutuan yang baik. Selain itu, adat berguna sebagai “pagar atau penghambat”[29] supaya orang tidak melakukan kejahatan. Hal ini dapat terlihat dalam hukum adat Larwul Ngabal, dan sistem kekerabatan dalam budaya Kei.

Berhadapan dengan gereja (kekristenan), tidak ada pertentangan pada pandangan ini. Kehadiran gereja dalam kasyarakat Kei, memiliki nuansa yang sama seperti yang tergamarkan dalam adat, baik itu dari segi hukum Tuhan, maupun dari segi hubungan antar manusia, etika (sistem kekerabatan budaya Kei). Meskipun demikian, disadari bahwa kebudayan memiliki kekhasan dan penegasan sendiri. Kita perlu mengakui bahwa dalam kehidupan sekarang ada kebiasaan-kebiasaan adat dan peraturan yang tidak dapat dicocokan begitu saja dengan ajaran gereja. Akan tetapi keduanya tetap merupakan hal yang saling melengkapi dan mengatur tata keidupan masyarakat Kei.
IV. Peluang dan Tantangan bagi Kehidpan Bersama

Dengan mencermati konflik kemanusiaan (1999), yang terjadi di Maluku pada umumnya, dapat disimpulkan bahwa sikap keberagamaan memang selalu mendua. Karena itu, muncul penilaian bahwa setiap agama sejak kemunculannya telah membawa potensi cacat bawaan. Agama, yang pada awalnya merupakan pengalaman institusional dan respon iman dari pemeluknya terhadap seruan yang sakral (Ilahi), ketika berkembang dan menyebar, yang mengemuka adalah agama sebagai kekuatan kolektif-komunal dan institusional yang sarat dengan agenda ideologis yang selalu terlibat dalam situasi persaingan. Berdasarkan hal itu, agama lalu menjadi sasaran pujian dan sekaligus cacian.

Wujud dan pengalaman keagamaan yang pada dasarnya bersifat metafisis dan individual, di dalamnya menyimpan kekuatan yang amat dahsyat bagi sebuah dinamika perubahan sosial. Agama sanggup melahirkan kohesi sosial dan gerakan politik yang bisa membangkitkan kekuatan revolusioner dengan para pendukungnya yang sangat militan. Sementara itu, retorika agama yang selalu mengajaran kedamaian tetap bergaung, namun pada level praksis juga muncul banyak peperangan yang terjadi karena motif keagamaan, terutama ketika sentimen agama bersembiosis dengan sentimen kelas ataupun kelompok sosial. Maka, agama yang biasanya pemaaf, toleran, dan kasih itu, bisa saja berubah menjadi militan yang ada kalanya destruktif dan menggeser akal sehat ketika menghadapi kelompok yang berbeda. Pertanyaannya, apa peluang dan tantangan agama dalam perjumpaannya dengan budaya Kei dalam kerangka hidup bersama?

4.1. Peluang
Terdapat dua hal yang dapat diuraian sebagai peluang yang dapat dikembangkan untuk menjamin keharmonisan hidup bersama. Pertama, symbol-simbol adat seperti yang telah diuraian di atas, merupakan nilai yang cukup kuat dalam mempersatukan masyarakat Kei. Sistem kekerabatan yanur-mangohoi, koi-maduan, dan teabel, merupakan symbol adat yang mampu memghimpun seluruh masyarakat Kei tanpa memandang agama. Selain itu, keadaan masyarakat Kei yang taat hukum, dan memegang teguh hukum adat Larwul Ngabal dapat dikatakan sebagai ciri masyarakat yang cinta damai. Karena itu, hukum adat seperti yang terurai di atas, merupakan peluang bagi kehidupan bersama lintas agama.

Kedua, masyarakat Kei dikenal sebagai masyarakat yang taat beragama, sehingga pada sisi ini peran agama dibutuhkan untuk mengelaborasi diri dalam rangka mencari persamaan dengan nilai-nilai budaya lokal, demikian pula sebaliknya. Perjumpaan agama dan budaya Kei dalam konteks ini dapat menjadi nilai perekat masyarakat untuk menciptakan harmoni, apabila niai-nilai universal menyangkut kemanusiaan seperti, saling mencintai, perdamaian sejati, kerukunan, keadilan, kemiskinan, anti kekerasan, dan kepedulian terhadap ligkungan, yang ditawarkan keduanya mampu dielaborasi dan didialogkan oleh para elit, baik elit agama maupun tetua adat sebagai peluang dalam kebersamaan hidup. Dan, bukannya saling meniadakan.

4.2. Tantangan
Berdasarkan pada uraian di atas, setidaknya, juga terdapat dua hal yang dilihat sebagai tantangan bagi kehudupan bersama. Pertama, pengaruh budaya global dan intervensi peraturan yang menghendaki uniformitas di berbagai bidang seperti masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi baru, jika tidak dikelola dengan baik akan berakibat pada lunturnya nilai tolong-menolong, melemahnya ikatan-ikatan kelompok akibat individualisme yang semakin menguat. Juga penerapan berbagai aturan dengan tujuan penyeragaman, telah menghancurkan sistem pemerintahan adat, akibatnya eksistensi budaya lokal nyaris punah. Dalam konflik (1999), masyarakat Kei saat ini sepertinya telah kehilangan identitas, terasing dari akar budayanya sehinggga menimbulkan frustasi social yang mendalam. Dalam perkembangannya, Adat tidak lagi menjadi yang utama dalam mengatur tata kehidupan masyarakat Kei, ia tergantikan dengan nilai individualisme dan ekonomi kapitalis. Lebih parahnya lagi kadang-kadang adat diobjektifir untuk kepentingan-kepentingan pribadi.[30]

Kedua, bahwa pengaruh budaya global itu juga turut mempengaruhi cara beragama masyarakat Kei, nilai-nilai (etika, moral) yang ditawarkan oleh adat dan agama, perlahan-lahan terkikis oleh nilai-nilai baru yang ditawarkan dunia modern. Selain itu, pemahaman-pemahaman baru (pembaharuan teologi) dari agama-agama terasa begitu lamban mempengaruhi masyarakat agama di Kei.
V. Penutup
Dengan pemahaman, bahwa agama memberikan manfaat secara langsung agar umatnya hidup damai dan sejahtera, maka pembatasan antara hal kudus dan duniawi mungkin  harus dipikirkan kembali. Agama harus berusaha untuk mendaratkan ajarannya kepada umatnya agar ajaran itu tidak memisahkan dirinya dengan, misalnya kegiatan perekonomian.
Dalam budaya Kei, ditemukan bahwa terdapat banyak nilai yang berharga untuk kehiduan bersama,

[31] seperti kekerabatan, kekeluargaan, persaudaraan, ketaatan pada hukum dan atasan, cinta kasih dan tolong-menolong tanpa membedahkan agama, tapi karena “satu darah”. Nilai-nilai tersebut terungkap dalam hukum Larwul Ngabal, dan dalam relasi antar manusia seperti yanur-mangohoi, koi-maduan, dan teabel, serta yang secara khusus terikat dalam falsafah hidup orang Kei “manut ain mehe ni tilur, vuut ain mehe ni ngivun”, dan “ain ni ain”

Sejalan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh kebudayaan Kei, gereja juga mengjarkan kepada masyarakat Kei tentang nilai-nilai etis-moral, seperti saling mencintai, persaudaraan sejati, kerukunan, perdamaian, anti kekerasan, keadilan, kemiskinan, lingkungan, dan dapat menjadi peluang menjain kebersamaan (pertemuan yang saling menghidupi). Maka, baik gereja maupun budaya Kei dapat meberikan inspirasi bagi masyarakat untuk dapat hidup berdampingan. Nilai-nilai ini dapat menjadi jalan masuk bagi masyarakat agama di Kei untuk berdialog dengan sesamanya. Tentunya dialog dalam pengertian kesetaraan.

Permasalahannya, dalam konteks Indonesia, jika menganalisis pertemuan antara agama (gereja) dan budaya lokal (salah satunya agama suku) yang terjadi adalah “agama resmi” sering bahkan selalu menjadi kanibalis bagi agama suku dan bentuk kepercayaan lainnya.  Kontradiksi internal (pertemuan) tersebut bersumber di dalam kenyataan bahwa  masyarakat (bangsa) mengenal pembagian kewenangan atau otoritas (authority), secara tidak merata, suatu hal yang senantiasa mengakibatkan dua macam kategori sosial dalam setiap masyarakat, yakni mereka yang memiliki otoritas (agama resmi) dan mereka yang tidak memiliki otoritas (agama suku).  Hal inilah yang sering menjadi alasan untuk membenarkan  tindakan represif, ketidakadilan dan diskriminatif, dan pemerintah adalah mungkin yang paling bertanggungjawab terhadap model kekerasan yang ditimbulkan akibat otioritas yang tidak merata itu.

Dalam konteks Maluku, khususnya kepulauan Kei, memang dirasakan bahwa konflik berdarah yang pernah terjadi (1999) telah menghancurkan sistem adat dan kepercayaan, yang sudah sempat disinggung di atas, penduduk pada kepulauan ini sepertinya telah terkotak-kotakan menjadi komunitas Kristen dan Islam. Namun demkian, dengan nilai-nilai adat yang juga telah diuraikan di atas, dan dengan falsafah ain ni ain, saya cukup yakin bahwa trauma sosial yang terjadi pasti akan segerah berakhir. Apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah pusat yang tidak lagi memberlakukan peraturan penerapan model desadi Maluku, dan wacana penetapan Perda Ohoi sebagai penganti desa akan membuka ruang untuk diberlakukannya sistem pemerintahan adat, yang sebenarnya bertujuan mengembalikan identitas masyarakt Kei sebagai orang Evav (Kei) yang menjadi Kristen atau Islam, dan bukannya orang Kristen atau Islam yang menjadi Kei. Dalam konteks ini, kemudian elit agama harus berbesar hari untuk berani menjelaskan bahwa agama untuk manusia, dan bukan sebaliknya martabat manusia dikorbankan untuk agama.

Daftar Pustaka

Anderson, Benedict, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. (Ithaca , N. Y : Cornell University Press, 1972)
Anderson, Roland, (ed), Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet. IV, 1994)
Emile Durkheim Sejarah Agama: The Elementary of the Religious Life, Penerjemah, Inyiak Ridwan Muzir, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006)
Fashri, Fauzi, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu,(Yogyakarta: Juxtapose, 2007)
Haar, Ter B., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953)
Huijbers, Theo, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996)
Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003)
Jr, Honig, A.G., Ilmu Agama (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 2000)
Kleden, Ignas., Soedjatmoko: “Sebuah Psikologi Pembebasan”, dalam Soedjatmoko, “Etika Pembebasan” (Jakarta: LP3ES, 1984)
Kuper, Adam & Kuper, Jossica, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
Krüger-Müller, Th.  Sedjarah Geredja di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959)
Laksono, P M., Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990.
Latief, M. Syahbudin, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000)
Narwoko, Dwi J. – Suyanto, Bagong (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2005)
Ngabalin, Marthinus, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait, (Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006.tidak diterbitkan)
Ohoitimur, Yong, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996)
Pattikayhatu, J. A., dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993)
______________, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998)
Rahail, J. P., Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993)
_________, Larvul Ngabal : Hukum Adat Kei Bertahan Menghadapi Arus Perubahan, (Jakarta: Yayasan Sejati. 1983)
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J., Teori Sosial, (Ygyakarta: Kreasi Wacana, 2009)
Ruhulessin, Christian, Johny, Etika Public: Suatau analisa Sosio Budaya Mengenai Pela Sebagai Dasar Etika Publik. Disertasi: Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristan Satya Wacana, (Salatiga: Tidak diterbitkan)
http://rahanrejau.mysites.nl/mypages/rahanrejau/458929.htmldiundu. diundu 17 juli 2009
________________________________________
[1] Hal ini merupakan suatu prinsip hidup masyarakat Kei yang sering disebut Adat, Kubniatau pemerintah, dan Agam atau agama,  dalam bahasa Kei biasanya disingkat menjadi AKA. Dalam bahasa Indonesia AKA berarti APA. Kedua kata ini merupakan kata tanya, yang dalam prinsip kehidupan orang Kei, adat pemerintah dan agama dimaknai sebagai topangan hidup yang bertujuan menciptakan dan menjaga harmoni masyarakat.
[2] Dalam pengertian ini, peluru tidak bermakna modern, namun lebih pada pengrtian tradisional yang mungkin dimaknai dalam bentuk mistis. Karena itu menurut penulis,  foing fokut fauw fo banglu, dapat juga dimaknai sebagai “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”
[3]Lihat uraian lengkapnya dalam  P M. Laksono, Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut (Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands) A Dissertation, The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990.
[4] Adam Kuper & Jossica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 199.
[5] Dalam Kleden, Ignas., Soedjatmoko: “Sebuah Psikologi Pembebasan”, dalam Soedjatmoko, “Etika Pembebasan” (Jakarta: LP3ES, 1984), xix
[6] Th.  Müller-Krüger, Sedjarah Geredja di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1959),29-31
[7] Ibid., 44
[8] Dalam Kleden, Ignas., Soedjatmoko: “Sebuah Psikologi Pembebasan”, dalam Soedjatmoko, “Etika Pembebasan” (Jakarta: LP3ES, 1984), xx
[9] Secara etimologi, Larvul Ngabal berasal dari kata Lar yang berarti Darah;  Wul yang artinya Merah; Nga yang berarti Tombak; Bal yang berarti  Bali. Jadi Larwul Ngabal artinya “Darah Merah” (yang mengalir dari tubuh sapi yang dibantai dengan tombak dari Bali), J. P. Rahail, Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, (Jakarta : Yayasan Sejati, 1993), 13
[10] J. P. Rahail, Larvul Ngabal : Hukum Adat Kei Bertahan Menghadapi Arus Perubahan, (Jakarta: Yayasan Sejati. 1983), 9
[11] J. A. Pattikayhatu, dkk, Sejarah Daerah Maluku, (Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993), 16; sedangkan kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial, dapat dibaca dalam B. Ter Haar,Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradiya Paramita, 1953), 16
[12] Lihat uraian J. A. Pattikayhatu, Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 40-47
[13] Lihat Yong Ohoitimur, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996)
[14] Bandingkan dengan konsep kekuasaan Jawa dalam Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt, ed. Culture and Politics in Indonesia. (Ithaca , N. Y : Cornell University Press, 1972), 25-27; lihat juga Syahbudin M. Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2000), 11
[15] Kekerabatan dalam bentuk Teabel ini mirip dengan Pela di Maluku Tengah. Lih. Johny Christian Ruhulessin, Etika Public: Suatau analisa Sosio Budaya Mengenai Pela Sebagai Dasar Etika Publik. Disertasi: Program Pascasarjana Sosiologi Agama Universitas Kristan Satya Wacana, (Salatiga: Tidak diterbitkan) 2005, 17.
[16] Yong Ohoitimur, Hukum Adat Dan Sikap Hidup Orang Kei (Manado: Kelompok Studi Communicanda MSC Pineleng, 1996), 13.
[17] A. G. Honig Jr cet. Ke 9, Ilmu Agama (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 2000), 54.
[18] Ibid. 17
[19] Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Makna Hidupnya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996),  28.
[20] Konsep ini adalah mirip atau bahkan sama dengan apa yang dikatakan Emile Durkheim tentang yang Profan dan yang Sakral. Dalam Sejarah Agama: The Elementary of the Religious Life, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006); lihat juga, George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosial, (Ygyakarta: Kreasi Wacana, 2009), 104
[21] A. G. Honig Jr cet. Ke 9, Ilmu Agama (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 2000), 55
[22] Bandingkan dengan konsep Totemisme dari Durkheim dalam Sejarah Agama. Ibid; dan George Ritzer, Teori Sosial. Ibid. 106
[23] J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto (ed), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Kencana, 2005), 247
[24] Roland Anderson, (ed), Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet. IV, 1994),  v-vii
[25] Hukum adat ini sebenarnya terdiri dari dua hukum, yakni hukum Larwul yang berarti “darah merah” dan hukum Ngabal yang berarti “Tombak dari Bali”. Kedua hukum ini ditetapkan masing-masing oleh dua persekutuan masyarakat adat seperti yang telah diuraikan di atas. Dan, kemudian disatukan.
[26] http://rahanrejau.mysites.nl/mypages/rahanrejau/458929.htmldiundu. diundu 17 juli 2009. lihat Uaian lengkapnya dalam  J. A. Pattikayhatu , Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 51-58. Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), 51-56.
[27] Duad adalah sebutan Tuhan bagi masyarakat Kei. Tuhannya orang Kei sudah diteliti dan dapat dibaca dalam, Marthinus Ngabalin, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait, (Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006.tidak diterbitkan)
[28] lihat uraian lengkap pasal-pasal dari ketiga hukum tersebut, dalam  J. A. Pattikayhatu ,Sejarah Pemerintahan Adat Di Kepulauan Kei Maluku Tenggara, (Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1998), 56-58. Juga dalam, I. J. Kilmanun, Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, (Tual: Februari 1996. Tidak diterbitkan), 51-56.
[29] Model seperti ini dapat disamakan dengan konsep Habitus dari Bourdieu, yang bermakna struktur yang  mempengaruhi perilaku individu dalam kehidupan sosial. Mempengaruhi dalam konteks ini dapat dipahami sebagai penghambat dan pendorong. Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu,(Yogyakarta: Juxtapose, 2007), 81-93; lihat juga Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003), 9
[30] Bandingkan dengan proses pengangkatan David Tjioe (direktur PT. Maritim Timur Jaya, yang berkedudukan di Tual, Maluku Tenggara) sebagai Raja Kei dengan gelar “Turan Evav Dir U Ham Wang” gelar ini bermakna sama dengan “Raja di atas segala Raja di Kei”, oleh 22 Raja, dan dilantik di Lapangan Masrum Lodar El pada tanggal 17 Oktober 2009. Namun pengangkatan tersebut ditolak oleh 4 Raja dan didukung oleh masyarakat. Setelah melakukan demonstrasi selama kurang lebih 2 minggu, barulah gelar tersebut dicopot.
[31] Hal ini tidak berarti bahwa dalam budaya lain, nilai-nilai itu tidak ada. Setiap budaya pasti memiliki nilainya sendiri, hanya saja karena makalah ini memfokuskan pembahasannya pada budaya lokal orang Kei.

Sumber : https://ellykudubun.wordpress.com/category/tentang-evavkei/
Diunduh : 22 Maret 2016
http://www.bratahungan.com/426316542