Tuesday, September 6, 2016

Menguak Riwayat Nenek Luhur (Toponimi, antropologi)

Kepulauan Kai (atau Kei) di Indonesia berada di bagian tenggara Kepulauan Maluku, termasuk dalam Provinsi Maluku. 

Penduduk setempat menyebut kepulauan ini Nuhu Evav ("Kepulauan Evav") atau Tanat Evav ("Negeri Evav"), tetapi dikenal dengan nama Kei atau Kai oleh penduduk dari pulau-pulau tetangga. "Kai" sebenarnya adalah sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda, Adanya misionaris Belanda dan Portugis menanyakan kepada nelayan dipinggir pantai ketika mereka berlabuh “ini pulau apa?” Para nelayan menjawab BETKAI(artinya TIDAK TAU).
Kepulauan Kai terdiri atas sejumlah pulau, di antaranya adalah
(Setelah Pemekaran Kota Tual tahun 2008 sebagai Kota Administratif, maka Pulau Dullah, Pulau Kuur, Pulau Taam dan tayando menjadi daerah Kota Tual, sedangkan Pulauh Kei Kecil, Kei Besar, Tanimbar kei menjadi Daerah Kabupaten Maluku Tenggara (Kabupaten Induk) dengan Ibukota Kabupaten Langgur (Terletak di pulau kei kecil). Sejak 1 Januari 2010 Pusat pemerintah kabupaten maluku tenggara resmi berada di langgur walaupun penyerahan aset kabupaten ke pemerintah kota tual baru dilaksanakan tanggal 23 januari 2010)
Total luas area daratan Kepulauan Kai adalah 1438 km² (555 mil²).
Menurut hikayat setempat, leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali), wilayah kerajaan Majapahit di kawasan Barat Nusantara. Konon dua perahu utama berlayar dari pulau Bali, masing-masing dinahkodai oleh Hala'ai Deu dan Hala'ai Jangra. Setibanya di kepulauan Kei, dua perahu ini berpisah. Perahu rombongan Jangra menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu rombongan Deu berlabuh untuk pertama kalinya di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan dijadikan pusat pemerintahan, tempat dikembangkannya hukum adat Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali) atas gagasan Putri Dit Sakmas. Bukti hubungan dengan Bali ini di Kei kecil mencakup beberapa benda warisan dan sebuah tempat berlabuh yang dinamakan Bal Sorbay (Bali-Surabaya), yakni tempat perahu keluarga kerajaan itu dulu berlabuh.
Salah satu bukti yang masih kuat sampai sekarang yaitu Pulau kecil Tanimbar-Kei bukanlah bagian dari Kepulauan Tanimbar , melainkan bagian dari Kepulauan Kai dan berpenghuni kurang dari 1000 jiwa, warganya sangat tradisional. Setengah dari populasi pulau ini mengaku beragama Hindu, namun kenyataannya mereka mempraktekkan pemujaan leluhur, yakni sistem religi asli Kepulauan Kai. Pemujaan kepada leluhur merupakan tradisi (pernah lihat opa ben menggunakan bahasa aneh sambil memberi sesajen –persembahan- seperti tembakau-rokok-,kopi, pinang).
Hikayat tersebut yang menyebabkan keberadaan kasta, menuruh silsilah keluarga (RAHAWARIN) aliran kanan (dari du roa) merupakan pemegang kasta teratas (pemilik tanah sut mel mel) sayangnya keturunan RAHAWARIN sekarang mulai punah dan banyak yang merantau.
Sut mel mel sendiri adalah tanah terlarang, siapapun manusia dilarang mengambil atau melakukan kegiatan dengan tanpa ijin para leluhur. Kalau melanggar dokterpun tidak bisa menolong alias kematian menanti.
Secara Antropologi Keturunan suku asli Kepulauan Kei mengisyaratkan adanya kesamaan hubungan dengan penduduk asli Australia dengan bukti di goa Ohoidertavun merupakan sesuatu yang tergolong langka, unik, dan luar biasa menarik untuk diteliti dan dikaji karena lukisan tangan para leluhur yang tergolong langka di tebing batu setinggi 24 meter.
Bahasa yang dipakai oleh penduduk kei adalah Bahasa Kei, Bahasa Kur, Bahasa Banda. Kosakata dalam bahasa kei memiliki fonem V (seperti V pada Via dalam Bahasa Latin) yang berbeda dengan fonem F dan P. Penduduk wilayah Utara Pulau Kei Besar membedakan fonem R seperti pada kata Rata dalam Bahasa Indonesia, dengan fonem R seperti pada français /fʁɑ̃ sɛ/ dalam bahasa Perancis. Meskipun demikian, dalam bentuk tertulis, kedua fonem ini tidak dibedakan.
Kosa kata Bahasa Kei modern mencakup banyak kata serapan dari banyak bahasa lain terutama Bahasa Melayu. Sebagian besar adalah nomina, yakni nama beberapa benda yang baru dikenal masyarakat Kepulauan Kei pada akhir abad ke-19. Kata-kata yang memiliki huruf P dan G dapat dipastikan merupakan kata serapan, karena kedua fonem tersebut tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Kei asli.
Mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Karena Kepulauan Kei tidak menghasilkan rempah-rempah ataupun komoditas yang bernilai tinggi lainnya selain kayu, perahu dan teripang, maka Kei luput dari perhatian pedagang dan kolonialis Barat sampai dasawarsa terakhir abad ke-19. Ikan dan kerang berlimpah ruah di laut sekitar Kepulauan Kei.
Peribahasa yang paling populer yaitu Vu'ut ain mehe ngivun ne manut ain mehe ni tilur : Telur dari satu ekor ikan saja, dan telur dari satu ekor ayam belaka; artinya semua orang itu pada hakikatnya bersaudara, laksana banyak telur yang berasal dari satu ekor ikan atau satu ekor ayam saja. Hampir sama maksudnya dengan BHINEKA TUNGGAL IKA. “Katong semua bersodara”

Sumber : wikipedia, cerita langsung dari keturunan darah du roa