Embal Kei, Rasanya tak Tertandingi
Oleh: FRANS PATI HERIN
Turun temurun, masyarakat Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara, mengonsumsi embal sebagai makanan pokok. Program pemerintah yang pernah memberlakukan beras sebagai makanan pokok, menyingkirkan posisi embal.
Hal yang sama dialami oleh masyarakat Gunung Kidul yang meninggalkan tiwul berbahan singkong, warga NTT yang meninggalkan jagung, atau orang-orang Papua yang meninggalkan sagu. Ketika ketahanan pangan yang berpijak pada kebiasaan turun temurun, kebijakan lokal yang menyesuaikan iklim dan tanah, hidup kembali. Begitu juga embal, belakangan hidup kembali setelah beras tidak lagi jadi makanan pokok, tidak saja harganya mahal (satu kg seharga Rp 8.000), tetapi padi juga sulit tumbuh di lahan kering daerah Kei Kecil.
Kini embal bahkan diolah menjadi berbagai bentuk dan aneka rasa. Menjadi makanan khas lokal Pulau Kei Kecil, utamanya Langgur yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara. Siapa pun yang berkunjung ke Kei Kecil, seperti belum lengkap jika tidak merasakan enaknya kuliner khas daerah itu. Mereka yang datang di Tual atau Langgur niscaya membawa oleh-oleh embal, seperti halnya orang kembali dari berkunjung ke Semarang membawa bandeng, atau dari Yogyakarta membawa bakpia.
Embal terbuat dari ubi kayu atau dalam bahasa setempat disebut kasbi, singkong, atau orang Jawa mengatakannya telo kaspo. Berbeda dengan jenis singkong umumnya, kasbi tidak bisa langsung dimakan. Beracun. Setelah diolah, kasbi menjadi makanan pokok penduduk Kei Kecil, bahkan makanan khas lokal. Proses pembuatannya dimulai dengan mengupas kulit umbi kasbi kemudian mencuci isi umbi itu dengan air hingga bersih.
Umbi lalu diparut. Hasil parutan diperas untuk memisahkan air yang adalah racun umbi itu. Umbi yang telah diperas dijemur dengan panas matahari yang cukup kemudian digiling menjadi lebih halus lagi. Tepung diolah menjadi berbagai bentuk makanan khas lokal yang disebut embal.
Oleh masyarakat setempat, embal biasanya dikukus atau dipanggang. Namun, kini banyak orang sudah mengolahnya dalam bentuk yang lebih menarik dan rasanya lebih enak, dengan beragam rasa, seperti keju, cokelat, gula merah. Proses pembuatannya memakan waktu hampir tiga hari, dan embal inilah yang dibawa sebagai tentengan buah tangan dari Tual atau Langgur.
Penghargaan pemerintah
”Dari mulai nenek moyangnya katong (kami), makanan pokok katong adalah embal, bukan beras karena daerah katong bukan penghasil padi. Sekarang, generasi yang baru seng (tidak) terbiasa makan embal,” kata Ernastina Tethool, warga Desa Ngilngof, Kecamatan Kei Kecil, beberapa waktu lalu.
Kendati demikian, menurut Ernastina, hampir setiap hari, sebagian besar masyarakat masih mengonsumsi embal, terutama untuk menu sarapan. Sementara untuk makan siang dan malam, sebagian masyarakat menggantinya dengan nasi. Jika persediaan beras berkurang, embal kembali menjadi menu pilihan masyarakat.
Di Ngilngof, letaknya 4 kilometer sebelah barat Langgur, produksi embal tidak hanya dalam jumlah terbatas untuk konsumsi keluarga, tetapi juga dikelola bersama oleh kelompok dalam jumlah yang lebih banyak. Ernastina sendiri adalah ketua kelompok pembuat tepung embal, Nen Te Idar. Kelompok usaha yang didirikan pada 1 Agustus 1994, dan kini beranggotakan 20 orang ibu. Setiap minggu, produksi tepung embal kelompok Ernastina (74) mencapai 200 kilogram. Hasil tepung kemudian dijual ke industri pengolah embal yang umumnya berada di Kota Madya Tual dan Langgur.
Berkat usaha itu, Nen Te Idar, salah satu kelompok koperasi di Desa Ngilngof, pernah mendapat penghargaan sebagai juara umum lomba ketahanan pangan nasional pada November 2013. ”Pak Wakil Presiden Boediono yang menyerahkan penghargaan kepada beta (saya) di Jakarta,” tutur Ernastina.
Ernastina berencana mengembangkan usaha kelompok yang beranggotakan ibu-ibu itu agar bisa mengolah embal menjadi panganan yang lebih bernilai harganya. Namun, kelompok itu tidak memiliki dana yang cukup untuk pengadaan alat-alat produksi.
Mulai berkurang
Seperti Ernastina, Marisa, penjual embal di sekitar Jalan Jenderal Sudirman, Langgur, mengatakan, minat masyarakat membeli embal mulai berkurang. Setiap hari, embal yang terjual tidak lebih dari 15 potong. Padahal di awal tahun 2000-an, jumlah yang terjual paling sedikit 50 potong setiap hari. Harga embal kukus Rp 2.000 per potong, sedangkan embal panggang Rp 3.000 per potong. Embal ini biasanya dimakan dengan lauk pauk ikan.
Penyebab utamanya pengolahan embal masih dalam bentuk tradisional, yakni dengan cara dikukus atau dipanggang. ”Orang sekarang lebih suka embal yang modelnya bagus dan enak, tetapi katong seng bisa bikin (kami tidak bisa olah) karena seng ada alat,” ucap Marisa.
Marisa juga khawatir, bahan baku pembuatan embal, yakni kasbi, mulai berkurang. Lahan-lahan yang sebelumnya ditumbuhi kasbi kini sudah dipakai untuk pembangunan perumahan dan perkantoran. Karena itu, untuk mendapatkan kasbi, mereka harus membeli dari daerah lain.
Menyadari perlu adanya pengolahan embal yang lebih moderen, Hilwa Usman, warga Kota Tual, mengolah embal dalam bentuk yang berbeda dengan berbagai rasa, di antaranya cokelat dan keju. Setiap hari, kemasan embal seharga Rp 25.000 per bungkus itu bisa laku terjual hampir 200 bungkus. Pembeli umumnya dari luar kota Tual dan Langgur, terutama Langgur yang semakin ramai dengan dibukanya bandara baru sebulan lalu.
”Kalau ada tamu dari luar yang datang ke Tual, mereka pasti membeli embal. Embal yang terjual lebih banyak dari hari biasa,” ujar Hilwa.
Usaha pengolahan embal yang beraneka rasa itu telah dimulai sejak awal tahun 2000. Hilwa juga menjual kuliner khas lainnya seperti kacang botol, oleh-olah khas Kei Kecil selain embal.
Warga Maluku Tenggara dengan ibu kota Langgur bangga, yang mulai mempersiapkan diri sebagai Provinsi Maluku Tenggara Raya. Selain kandungan minyak, rumput laut, termasuk embal, jadi modal besar. Memang, embal Kei seng ada dua (tak tertandingi). (STS)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006081121
http://www.batukarinfo.com/news/embal-kei-rasanya-tak-tertandingi